MENU

Kegalauan Insan Pers di Konkernas 2017

Oleh: Iskandar Z Datu

SERUJI.CO.ID – Beberapa hari lalu, media sosial dibanjiri meme (baca: mim) mobil Ketua DPR RI Setya Novanto yang menabrak tiang listrik pada 24 November.

Berbagai meme kritikal lucu dan menghibur itu berhambur menembus ruang dan waktu langsung ke genggaman kita berkat perkembangan teknologi, kemudahan akses serta informasi gratis.

Meme dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah ide, perilaku, atau gaya yang menyebar dari satu orang ke orang yang lain dalam sebuah budaya.

Arti lain sesuai kamus, yakni cuplikan gambar dari acara televisi, film, dan sebagainya atau gambar-gambar sendiri yang dimodifikasi dengan menambahkan kata-kata atau tulisan-tulisan untuk melucu atau menghibur.

Kemajuan teknologi sehingga warga bukan lagi sekedar “pembaca, pendengar dan penonton pasif” tetapi menjadi warganet untuk menyebarkan informasi, pemikiran maupun meme atau kritikal lucu dan menghibur layaknya wartawan melalui media sosial.

Kadang berita banjir, tanah, longsor, kecelakaan kapal, kebakaran atau tabrakan bus maut lebih cepat tersebar di media sosial ketimbang media mainstream.

Lahirnya meme tidak terlepas dari perkembangan teknologi komunikasi serta keberadaan media sosial seperti facebook, twitter dan istagram.

Warganet melalui postingan mereka di media sosial bisa membentuk opini publik jika mampu memviralkan pemikiran atau meme tersebut, contoh hashtag #savetianglistrik yang sempat menjadi “trending topic”.

Perkembangan teknologi menjanjikan masa depan namun di sisi lain menjadi ancaman bagi keberadaan media cetak, televisi dan media online jika tidak melakukan perubahan sesuai tuntutan zaman.

Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan, lihatlah dalam beberapa tahun terakhir sejumlah media besarpun satu persatu tumbang. Sinar Harapan baik cetak maupun daring berhenti pada 1 Januari 2016. Harian Bola yang coba bertahan dengan menerbitkan harian bola pada 7 Juni 2013 hanya mampu bertahan 2,5 tahun.

Jakarta Globe, koran berbahasa Inggris yang terbit pertama kali 12 November 2008 dan akhirnya tumbang 15 Desember 2015. Koran Tempo Minggu sejak 11 Oktober 2015 tidak lagi terbit, digabung dengan Sabtu.

PT The Nielsen Company Indonesia melaporkan pada 2015 tercatat dari 117 surat kabar yang dipantau, 16 unit media telah gulung tikar. Sedangkan 38 majalah juga bernasib sama. Hanya tersisa 132 majalah dari 170 majalah, yang masih bertahan.

Kabar duka juga terjadi awal Juli 2017 ketika biro daerah Koran Sindo ditutup setelah 11 tahun beroperasi per 29 Juni 2016.

Kegalauan akan masa depan media itu tercermin dalam Konferensi Kerja Nasional (Konkernas) Persatuan Wartawan Indonesia 17-19 November 2017 di Hotel Santika, Bengkulu, Sabtu (18/11) dengan menggelar Seminar Nasional bertajuk “Revolusi Digital: Peluang dan Tantangan Bagi Pembangunan Daerah”.

Seminar menghadirkan tiga pembicara, yakni staf Ahli Menkominfo Bidang Komunikasi dan Media Massa Gun Gun Siswadi, pengamat Ekonomi dan Bisnis dari Universitas Bengkulu Prof Lizar Alfansi PhD, dan Sekjen Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Hendry Ch. Bangun.

Ingin mengabarkan peristiwa atau menulis opini? Silahkan tulis di kanal WARGA SERUJI dengan klik link ini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama

ARTIKEL TERBARU

BERITA TERBARU

TERPOPULER