Oleh:
Prof. Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya
Rumah Peneleh
Malam itu, sekitar 100 tahun lalu, menjelang subuh, Pak Tjokro melihat Karno, Karto dan Muso masih tertidur pulas. Seperti pagi-pagi lainnya sebelum ini, dia bisa saja menggorok leher ketiga anak muda yang kos di rumahnya di Peneleh, Surabaya itu, lalu menikmati kehidupan mapan priyayi Jawa di Hindia Belanda.
Tapi Pak Tjokro mengambil resiko membiarkan ketiganya hidup untuk kemudian bermimpi tentang sebuah negeri baru yang berbeda dengan yang memanjakannya ini. Keputusannya -sebagai mentor para pendiri Republik ini- diiringi rasa cemas yang tak terelakkan. Negeri baru di tanah yang begitu Bhinneka akan senantiasa didera ketegangan untuk tetap Tunggal Ika.
Jika Karno hanya kuliah di ITB saja, pastilah dia bakal jadi arsitek hebat. Perjumpaannya dengan Pak Tjokro di Peneleh itulah yang membuatnya kelak menjadi proklamator.
Kini Rumah Peneleh itu makin tua dan tidak terawat. Makin pengap dan sumpek. Jangankan berdemonstrasi, berpikir bebas saja menghadapi intimidasi. Semuanya yang penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara sudah selesai; harganya sudah mati.
Saya menolak membiarkan rumah itu roboh. Apapun yang terjadi.
Daniel Mohammad Rosyid
Lanjutkan ke Pendahuluan: Pasca1998: Surplus Fanatisme, Difisit Akal (Rocky Gerung)