Ketika beredar video pengusiran Biksu Budha, entah hoax atau bukan, muncullah sebuah tweet dari akun milik seorang jurnalis senior kenamaan Goenawan Mohamad. Akun yang terverifikasi dengan inisial gm_gm tersebut menerbitkan cuitannya pada tanggal 10 Februari sebagai berikut,
“Sebuah acara umat Budha dilarang di Kabupaten Tangerang. Minoritas yang kehilangan hak adalah yang terjadi di Rohynga. Jika kita mengecam yg terjadi di sana dan menghalalkan yg terjadi di Tangerang, rasa keadilan kita palsu”.
Sekilas, pernyataan tersebut positif, memberi nasehat yang baik bagi bangsa. Namun, ternyata tergesa-gesa. Akun resmi TNI AD kemudian merilis pernyataan bila video yang tersebar adalah hoax, dengan mengutip link situs resminya.
Sebagai jurnalis senior, hal ini bukan teladan yang baik. Jurnalis dituntut untuk mengemukakan fakta dengan data yang akurat. Kalaupun kemudian beropini, seharusnya lebih mengedepankan argumentasi tanpa prasangka.
Walau tidak secara eksplisit menyebut golongan atau umat, dalam pernyataannya menegaskan keberadaan mayoritas dan minoritas seperti di Rohynga. Apakah benar di Indonesia demikian? Bisa saja itu hanya persepsi segelintir. Terbukti banyak menteri, jenderal, pengusaha yang beragama selain Islam dan damai-damai saja. Bahkan, Bali sebagai pusat agama Hindu dan Budha menjadi tujuan wisata domestik rakyat Indonesia yang “mayoritas” Islam ini.
Tentu, persekusi terhadap orang yang beribadah, apapun agamanya, tidak dapat dibenarkan. Apa yang dinyatakan jurnalis senior ini bahwa “menghalalkan persekusi ibadah sekelompok umat adalah sebuah kehilangan rasa keadilan” itu benar, namun menjadi pertanyaan mengapa kata “menghalalkan” itu muncul?
Maka, khalayak berhak menyangka dirinya memiliki keyakinan bawah sadar, menganggap umat Islam mayoritas penindas seperti di Rohynga, atau punya agenda dan kepentingan terselubung. Benar atau tidaknya, yang jelas perkataannya cukup mengusik dan membangkitkan pertanyaan, apakah benar Indonesia sudah kehilangan toleransi beragama?
Seringkali, prasangka seseorang memang menggerakkan orang lain untuk benar-benar melakukan perbuatan seperti yang disangkakan. Oleh karena itu, masyarakat butuh ucapan penuh prasangka baik, optimisme dan kedamaian, apalagi jika disampaikan oleh tokoh publik yang diikuti banyak orang.