Fans sepakbola di dunia demokrasi biasa ‘nyinyir’ ke pemain dan pelatihnya sendiri. Normal. Apalagi tidak pernah juara bertahun-tahun, seperti Arsenal. Maka, ada tagar #wengerout berkeliaran di lini masa. Biasa.

Yang tidak biasa, dan barangkali tidak akan dilakukan klub manapun, membuat ‘pasal’ dilarang masuk stadion karena menghina pemain, pelatih, bahkan klub sekalipun. Fans adalah sumber uang. Dari mereka tiket terjual. Seburuk apapun perkataan mereka, tidak menjadi masalah bila tetap bayar tiket.

Bagi pemain dan pelatih, ejekan dan cemooh bukan untuk pembenaran, seharusnya. Pemain hebat tentu bermental baja, dan membuktikan sebaliknya dengan kinerja dan prestasi. ‘Nyiyir’ dianggap tantangan, digunakan untuk memacu diri melampaui batas kemampuan.

Pelarangan terhadap ‘kenyiyiran’ itu pertanda tak mau kelemahan diungkit-ungkit, yang bermakna ingin dipuja tanpa perlu berprestasi. Secara kejiwaan itu sudah bermasalah, disebut power syndrom. Namun, biasanya pemain tidak terkena penyakit ini, karena sudah sadar mereka pihak yang paling mudah digusur.

Barangkali, ada pihak yang setuju terhadap pelarangan ‘nyinyir’, namun bisa ditebak karena mereka punya kepentingan atau keuntungan atas status quo sebuah klub. Bisa jadi pula karena terancam bila ada perombakan. Yang jelas, pelarangan tidak berdampak positif terhadap kemajuan klub.

Memang betul, ‘nyinyir’ berkonotasi negatif saat ini, dengan membawa kesan merendahkan, tidak percaya, atau tidak hormat. Sedangkan makna asli menurut KBBI, nyinyir berarti “permintaan yang berulang-ulang dilakukan” dan lebih positif maknanya. Barangkali lebih baik diganti dengan ‘kritik’ atau ‘peringatan’. Tapi, terkadang ‘nyiyir’ dibutuhkan agar selamat dari penyakit ‘gila pujian’. Beruntunglah orang yang dinyinyiri khalayak, dan celakalah bagi yang hanya ingin menerima puja-puji.

Karena, segala pujian itu milik Tuhan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama