Menag Lukman Saifuddin meluncurkan wacana pemungutan zakat dengan cara pemotongan gaji Aparatur Sipil Negara (ASN) yang ditanggapi pro dan kontra khalayak. Yang pro, ada mendasarkan atas kemudahan, ada pula alasannya karena zakat itu memang “dipungut” bukan “disetor”.
Yang kontra, kurang tepat bila alasannya takut disalahgunakan, karena menurut Menag akan disetorkan ke Baznas untuk pentasarufannya (pembagian kepada yang berhak). Walau, alasan ini normal terkait kelembagaan pemerintah sekarang yang dirasa kurang dekat dengan kaum muslimin.
Kalau dari diskursus tentang apakah Kemenag itu “ulil-amri” yang berhak menetapkan dan berwenang dalam urusan ibadah umat, barangkali Kemenag ingin menegaskan kedudukannya setelah menjadi penentu tanggal hari raya di Indonesia. Namun, banyak yang kurang sepakat karena Indonesia bukan negara Islam, dan Kemenag adalah perpanjangan tangan pemerintah.
Dari pro kontra yang terjadi, sebenarnya ada hal yang bermanfaat bagi umat. Zakat, sesuai perundangan yang berlaku sejak pemerintahan SBY kalau tidak salah, dapat digunakan untuk mengurangi pajak. Pajak “terbebas” dari syarat, sedangkan zakat hanya dapat dibagikan sesuai syariat. Artinya, pajak “disabotase” zakat dalam arti yang baik, sehingga tidak digunakan untuk infrastruktur, misalnya.
Karena tidak semua ASN terkena wajib pajak (ada istilah PTKP, Penghasilan Tidak Kena Pajak), maka tidak semua wajib bayar pajak, harusnya begitu. Maka, ASN yang bergaji kecil tidak perlu bayar zakat. Jadi, penentuan siapa yang dipotong gajinya untuk zakat, tidak sulit. Hanya, relakah pemerintah sekarang yang sangat mengharapkan pemasukan dari pajak “disabotase” untuk zakat?
Tahapan demi tahapan dalam menerapkan syariat Islam yang memudahkan dalam beribadah. Dukung