Pada 15 Januari 2018 lalu, bertepatan dengan 44 tahun Peristiwa 15 Januari 1974 yang lebih dikenal dalam catatan sejarah sebagai Peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari atau Malari, diselenggarakan peringatan dan diskusi publik yang mengundang pakar sosial ekonomi, serta dihadiri banyak aktivis Malari di University Club, Boulevard UGM, Yogyakarta. Acara ini diselenggarakan oleh INDEMO, pimpinan aktivis Malari, Hariman Siregar. Dihadirkan sebagai pembicara ada Max Lane (sejarawan dan penulis), Ari Sujito (sosiolog), Dhaniel Dhakidae (mantan kepala Litbang Kompas), Bhima Yudhistira (ekonom) dan Emha Ainun Najib (tokoh nasional).

Hadir pula sebagai peserta diskusi di antaranya, Hatta Taliwang, ibu Lily Wahid, Eggy Sudjana, serta banyak aktivis Malari dan peserta umum yang memenuhi aula gedung UC-UGM. Acara dimulai pukul 09.30 sampai 13.30.

Hariman Siregar, tokoh Malari memulai acara dengan gaya orasinya yang masih sama seperti saat ia muda. Kritis, meledak-ledak, namun tetap hangat dan memunculkan antusias pendengarnya. “Bagaimana ini Reformasi?” tanya Bang Hariman membuka acara. Hariman membicarakan tentang kondisi sosial yang terjadi jelang Malari, kesenjangan sosial yang menganga, kemiskinan yang tak kunjung menjadi perhatian serius, hingga rentetan factor yang mendasari adanya Malari dan Reformasi. “Benang merah itu,” sambung Bang Hariman, “sampai hari ini masih sama.”

Zaman sudah berganti. Dulu, aktivis ditangkapi karena berhadapan dengan rezim otoriter. Sekarang, tidak ada penangkapan, tapi juga belum tentu didengar. Bang Hariman mengisahkan, dulu Malari ada sebagai reaksi dari banyaknya investasi yang masuk dan membanjirnya produk Jepang. Sekarang, kondisinya juga nyaris sama seperti itu, namun dari Negara Tiongkok.

Disambung kepada pandangan tentang Reformasi. Istilah Reformasi, menurutnya muncul begitu saja, aktivis 98 menuntut Revolusi. Habibie, menawarkan istilah ‘evolusi yang dipercepat’. Namun kemudian, entah dari mana, istilah Reformasi lalu muncul dan banyak dipakai hingga saat ini. “Kita memasuki usia 20 tahun Reformasi. Beberapa agenda sudah terpenuhi, misalnya lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun, komitmen memberantas korupsi masih tanda Tanya besar. Reformasi sudah 20 tahun belum menjawab masalah kemiskinan, keadilan dan kesejahteraan,” sambung Bang Hariman. “Pembangunan sekarang untuk siapa? Harus bermanfaat untuk rakyat,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan. Dunia mengalami ketimpangan sosial yang luar biasa. Kekayaan dikuasai oleh 1% orang melawan 99% warga dunia yang harus bertahan hidup. Di Indonesia, kesenjangan ditunjukkan oleh rasio gini yang semakin memburuk. Utang pemerintah membesar, sementara itu, ada kelompok masyarakat yang memiliki simpanan dollar dalam jumlah besar. Pemerintah memiliki utang yang jatuh tempo mulai 2018, sementara postur APBN kita akan sangat dibebankan dengan itu. Jika berutang lagi, kreditur pasti akan menambahkan syarat yang lebih berat.

Diskusi sesi pertama dibuka oleh Max Lane, sejarawan yang dikenal dekat dengan para aktivis. Max Lane membeberkan catatan-catatannya tentang Malari, Reformasi dan kondisi kekinian. Yang mana menurutnya, anak muda masih memegang peranan penting dan perlu adanya ketersambungan generasi aktivis yang ada. Sudah dimulai dari angkatan 70-an kepada angkata 80-an dan menyambung kepada Reformasi. Anak muda adalah penggerak perubahan. Pergerakan perubahan, seharusnya dilakukan oleh pemuda yang berumur di bawah 22 tahun.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama