Islam sebagai agama universal, pada hakikatnya mampu memberi solusi bagi segala problematika umat.
Bahkan Allah sebagai Dzat yang mengatur seluruh kehidupan, telah memberikan jaminan bagi siapapun yang membutuhkan pemecahan terhadap permasalahan yang berkembang di tengah masyarakat, dengan ‘Terapi Syariat’ apabila dilaksanakan dengan baik dan benar, sesuai dengan aturan main yang telah ditentukan oleh agama.
Maka jaminan kemakmuran hidup, baik yang berkaitan dengan kemashlahatan dunia, maupun kemashlahatan akhirat tiada lain adalah relevansi dari firman Allah yang artinya:
“Sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertaqwa kepada Allah, niscaya Kami bukakan kepada mereka segala macam keberkahan dari langit dan dari bumi. Namun karena mereka mengingkari ayat-ayat/syariat Kami, maka kami siksa mereka akibat perbuatan mereka sendiri” (QS. al-A’raf – 96).
Syariat Islam, di samping sebagai Solusi Rabbani bagi kepentingan umat manusia, juga merupakan dustur atau undang-undang yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim.
Syariat Islam adalah suatu aturan yang diciptakan oleh Allah demi menjaga stabilitas kehidupan manusia, baik kehidupan di dunia maupun di akhirat.
Syariat Islam telah mengatur cara hidup manusia di seluruh aspek kehidupan, dari mulai yang terkecil semisal tata cara tidur yang baik, hingga urusan yang besar semisal bagimana cara hidup menuju kenikmatan akhirat yang kekal abadi.
Dalam melaksanakan kewajiban bersyariat, ada dua macam yang harus dikerjakan oleh umat Islam. Yaitu melaksanakan syariat yang bersifat Fardi (individu) serta syariat yang bersifat Jamaa’i (kolektif).
Untuk lebih jelasnya dapat diperinci sebagai berikut:
Syariat Islam yang bersifat Fardi (individu), adalah kewajiban seorang muslim secara individu atau perorangan, contohnya kewajiban melaksanakan shalat, atau zakat, atau puasa atau haji, yang mana ibadah-ibadah semacam ini apabila ditinggalkan oleh seorang muslim maka berdosalah ia secara pribadi. Sebaliknya apabila dikerjakan sesuai ketentuan, maka kewajibannya menjadi gugur, bahkan si pelaksana akan mendapat pahala.
Syariat Islam yang bersifat Jamaa’i (kolektif), adalah kewajiban umat Islam secara kolektif, contohnya, kewajiban melaksanakan shalat Jumat.
Shalat Jumat tidak dianggap sah kecuali dilaksanakan secara kolektif. Bahkan apabila di suatu daerah yang dianggap sudah cukup syarat untuk melaksanakan shalat Jumat, namun jika dari penduduk setempat tidak ada yang melaksanakannya sesuai aturan main, maka dianggap berdosalah seluruh penduduknya.
Mayoritas umat Islam Indonesia sudah banyak yang mengenal bahkan mengerjakan kewajiban-kewajiban bersyariat yang bersifat Fardi. Sedangkan untuk melaksanakan kewajiban bersyariat yang sifatnya Jamaa’i, masih banyak yang belum mengerti bahkan banyak pula yang meninggalkannya.
Yang lebih menyedihkan, justru ada beberapa kelompok umat Islam yang dengan ekstrim menolak kewajiban syariat yang bersifat Jamaa’i ini.
Sedangkan kewajiban Jamaa’i yang belum dilaksanakan di Indonesia masih cukup banyak. Padahal, bilamana seluruh penduduk Indonesia tidak melaksanakannya maka mereka semua berdosa kepada Allah.
Di antara kewajiban tersebut, adalah melaksanakan hukum-hukum yang bersumber dari al-Quran dan Hadits serta Ijma’ para ulama yang bersifat kenegaraan, khususnya yang terkait dengan hukum jinayat (pidana), misalnya memberlakukan hukuman pidana cambuk bagi pemabuk, potong tangan bagi pencuri, atau hukuman ta’zir bagi pelanggaran lainnya.
Kewajiban mengangkat seorang kepala negara berikut perangkatnya sesuai ketentuan syariat, adalah salah satu kewajiban yang sangat urgen/vital yang seharusnya dilaksanakan oleh masyarakat muslim Indonesia.
Dengan memilih kepala negara yang sesuai dengan kreteria syariat, akan menjadikan Indonesia sebagai NKRI bersyariat. Dampak positifnya, akan memungkinkan untuk membentuk lembaga-lembaga kenegaraan yang disesuaikan dengan hukum Islam pula.
Misalnya lembaga peradilan dan kehakiman yang memberlakukan hukum fiqih dalam menangani seluruh permasalahan yang menyangkut urusan perdata maupun pidana.
Kewajiban memilih dan mengangkat kepala negara ini termasuk kategori kewajiban bagi umat Islam secara Jamaa’i, sehingga apabila masyarakat Indonesia belum berusaha melaksanakan kewajiban ini, maka dianggap terus menerus berdosa kepada Allah, sampai terwujudnya perangkat pemerintah serta sistem kenegaraan yang sesuai dengan syariat Islam.
Di antara rentetan kewajiban memilih dan mengangkat kepala negara sebagaimana tersebut di atas, adalah bahwa kepala negara bertindak sebagai pelaksana utama hukum yang bersifat jamaa’i.
Contohnya, untuk melaksanakan hukum potong tangan bagi pencuri, sebagaimana yang diwajibkan oleh Alquran, mengharuskan adanya Imam atau wakil imam untuk memimpin pelaksanaannya. Dalam hal ini yang berhak bertindak serbagai Imam adalah kepala negara, atau diserahkan kepada wakil Imam, yaitu hakim yang ditunjuk oleh Imam.
Untuk itulah, umat Islam wajib memperjuangkan mekanisme pemilihan dan pengangkatan kepala negara di Indonesia yang sesuai dengan syariat.
Termasuk memilih calon kepala negara pun sudah seharusnya disesuaikan dengan kreteria syariat, yaitu calon yang sekira mendekati sifat Shiddiq Amanah Tabligh & Fathanah.
Jika tidak, maka selamanya tidak akan terlaksana kewajiban melaksanakan syariat yang bersifat jamaa’i ini, sehingga berdosalah seluruh masyarakat Indonesia, terutama para ulama dan tokoh agamanya yang telah mafhum terhadap aturan hukum fiqih semacam ini. Kecuali bagi mereka yang telah berjuang untuk merealisasikannya, sekalipun belum diberi keberhasilan oleh Allah SWT.
Jadi, perjuangan umat Islam dalam menegakkan syariat Islam di Indonesia belum usai, dan tidak ada kata ‘final’ dalam memperjuangkan hak berbangsa dan bernegara secara konstitusional, hingga terwujud Negara Kesatuan Republik Indonesia Bersyariat.



