Namanya Arsil. Umur 8 tahun. Dia peserta Karantina Tahfizh Al-Qur’an paling muda yang diselenggarakan tanggal 23-29 Desember 2017.
Di acara pembukaan peserta disuruh memperkenalkan diri sambil bercerita apa yang menjadi motivasi menghafal Al-Qur’an. Tibalah anak shaleh ini memperkenalkan diri.
“Nama saya Arsil. Motivasi saya mau jadi hafizh Al-Qur’an….”
Tiba-tiba kata-kata dia terhenti. Sejurus kemudian dia menangis sampai tersungguk-sungguk. Dadanya berguncang. Seisi ruangan jadi heran. Masing-masing peserta yang ada di ruangan terlihat bertanya-tanya dalam hati dan saling pandang. Sejurus kemudian tampak Arsil berusaha mengumpulkan kekuatannya lagi untuk meneruskan kalimat yang mau diucapkan. Lalu…
“Saya ingin menghadiahkan mahkota dan mengenakan jubah kepada ibu dan ayah saya nanti di surga” pungkas Arsil yang membuat seisi ruangan tidak mampu membendung tangis. Sekejap kemudian seisi ruangan seperti disandera dengan kebisuan rasa bangga dan haru.
Tampaknya anak kecil ini sudah pernah membaca hadits nabi saw seperti yang disampaikannya itu. Betapa beruntungnya orang tua Arsil memiliki anak seperti dia. Waktu dia tanya salah seorang peserta :
“Sudah berapa juz (hafalnya) Nak ?”
“3 setengah juz” jawabnya singkat.
Cerita ini dan cerita lain yang sejenis ini harus semakin banyak diproduksi oleh anak bangsa di negeri ini. Apalagi kecenderungan budaya hedonis seperti saat ini, diakui sudah banyak menggerus dan menggusur tata nilai agama yang membuat manusia semakin jauh dari kebahagiaan yang diidamkan-idaman oleh setiap orang.
Untuk itulah diperlukan pengertian ulang -atau lebih tepatnya- mengembalikan lagi pengertian sukses ke dalam makna hakikinya. Sukses hakiki itu adalah sukses yang mampu menampung kebahagiaan dan kesejahteraan multi dimensi : materil-spiritual, dunia-akhirat. Caranya meraihnya dimulai dari membangun fondasi agama di tengah-tengah keluarga. Apa yang dibangun di keluarga sangat berhubungan dengan apa yang diharapkan oleh orang tua ke anak-anaknya. Apa yang diharapkan orang tua, berhubungan dengan alat ukur yang digunakan orang tua ke anak-anaknya. Dari sinilah pokok pangkalnya. Para orang tua harus memulai “meredefinisi kebanggaan” kepada anak-anaknya. Tidak bisa dipungkiri bahwa hampir semua orang tua merasa bangga jika misalnya anaknya punya kemampuan seperti keterampilan berbahasa Inggris, mampu menguasai ilmu matematika atau fisika, seni, dan sebagainya. Tolok ukur kebanggaan itu sedianya tidak berhenti di situ saja. Bahkan itu semua belum berarti apa-apa, sampai si anak mampu menjadi seorang hafizh Al-Qur’an 30 juz. Mengapa demikian ? Karena Al-Qur’an itulah yang kelak menjaga kehidupan anak-anak itu. Bukankah fakta jugalah yang menunjukkan bahwa kusut masai kerusakan moral di negeri ini (seperti maraknya korupsi) pada sebahagian besarnya dilakukan oleh orang-orang yang pandai ?
Berangkat dari sini terasa patut memberi apresiasi kepada lembaga-lembaga atau yayasan-yayasan Tahfizh Al-Qur’an. Bahkan seperti dilansir di pemberitaan yang beredar, Yayasan Karantina Tahfizh Nasional memproyeksikan pada tahun 2030 dalam setiap rumah tangga harus ada 1 anggota keluarga yang Hafizh Al-Qur’an 30 juz.
Mungkinkah itu ? Batas kemungkinan yang mampu kita raih terletak pada batas apa yang kita bilang mungkin atau tidak. Semoga !



