Pengumpat dan pencela sudah ditetapkan celaka. Sayangnya, pernyataan Allah ini seperti tak pernah didengarkan bahkan oleh umat muslim sendiri. Sangat mudah orang berkomentar di media sosial sehingga kata-kata tak berdasar dan tanpa ilmu bahkan tanpa identitas asli bertebaran saling mempengaruhi.
Ambil contoh kasus tentang putusan MK terkait pasal-pasal LGBT. Seperti yang diketahui, apapun yang terkait kata LGBT selalu sensitif di publik Indonesia karena hal yang diluar norma umum masyarakat, khususnya muslim. Karena sensitif, umat sangat mudah dipancing “amarahnya”.
Karena marah, sangat mudah orang mencaci dan mencela. Bahayanya, ketika orang sudah mencaci dan mencela (dengan amarah), sistem dalam otak otomatis menutup jalur “berfikir” dan hanya menjalankan mekanisme otak primitif : bertahan atau melarikan diri.
Celakanya, karena tidak berfikir panjang, celaannya melukai perasaan orang lain, memutus silaturahim dan merusak perkawanan. Celaka besar karena manusia adalah makhluk sosial yang sangat bergantung pada komunitasnya, entah itu lingkup lingkungan tetangga atau bahkan negara.
Celakanya lagi, karena otak tidak bisa berfikir logis, sangat mudah dimasuki argumen-argumen menyesatkan, merasa benar namun sebetulnya keliru. Tidak sadar bahwa sedang menuruti hawa nafsu amarah, merasa puas jika bisa “mengalahkan” yang lainnya, termasuk dengan celaan, cacian bahkan fitnah.
Maka, sebaik-baiknya ketika membaca, mendengar ataupun melihat sesuatu, dahulukan prasangka baik agar tidak mudah menuduh atau memfitnah. Bisa jadi, pihak-pihak pro LGBT hanya memanfaatkan situasi yang terjadi, menganggap MK pro dengan mereka padahal tidak. Kalau hanya seperti itu, menyalahkan MK bahkan mencaci-maki tanpa pengetahuan itu sama saja termakan fitnah pihak lawan.
Tidak setuju itu boleh, dan wajar. Namun, mengikutinya dengan cacian dan celaan hanya memperburuk situasi dan memecah persatuan. Sudah menjadi kodrat, mengumpat dan mencela itu perbuatan orang bodoh. Lebih baik diam sebelum paham, dengarkan para alim dan ahli yang bicara, dan abaikan orang-orang bodoh sok pintar yang betebaran di dunia medsos.
Yg mencaci putusan MK dan marah2, karena memikirkan efek putusan itu kpd lingkungan sehari2. Khawatir kpd anak istri dan keluarga. Wajar marah.
Nah, yg marah2 kepada orang2 yg memarahi MK, motifnya menjaga siapa?
Tulisan ini sendiri bukannya berisi cacian, tuduhan dan fitnah belaka? Itu prof euis sunarti bodoh? MUI bodoh? 4 hakim MK yg setuju review bodoh?
Terimakasih, maaf kalau dianggap mencaci. InsyaAllah tidak ada nama yang disebut. Kalau dianggap saya menuduh atau mencaci orang yang Anda sebut, maka saya klarifikasi bahwa saya tidak pernah berniat menuduh orang-orang yang Anda sebut. Kalaupun dianggap demikian, saya mohon maaf barangkali itu kelemahan saya tidak mampu menyampaikan tulisan dengan baik.
lanjutkan