Kemudian saya beralih bertanya pada keponakan yang sekolah di desa. Berapa hari kamu sekolah dalam sepekan? “Enam hari paman, Senin sampai Sabtu, pulang sekolah pukul 12.00 atau 13.00, lalu bantu bapak-ibu cari makanan ternak atau yang lain,” katanya. Sore hari? “Belajar agama di Madin,” katanya lagi. Lalu bapaknya menimpali, “ya mohon dimaklumi karena sekolahannya miskin fasilitas.”
Karena belum puas, saya lantas tanya pengurus NU yang saya anggap cukup cerdas. Apa yang dikuatirkan NU terhadap pelaksanaan FDS? “Lho…banyak, ada sembilan aspek,” jawabnya sambil nerocos memaparkan sembilan aspek mulai dari aspek akademis, Sarpras (sarana-prasarana), ekonomi, keamanan, sosial, kompetensi akademik, mental spiritual, keharmonisan keluarga dan aspek sistem pendidikan itu sendiri. Dari sembilan aspek yang didalihkan untuk menolak FDS itu, menurut hemat saya, tidak ada satupun yang esensial. Semuanya bertumpu pada masalah teknis dan minimnya Sarpras pendidikan yang, bila segera dipenuhi, akan bisa terselesaikan dengan sendirinya.
Persoalan pokoknya, dengan demikian, bukan terletak pada kebijakan FDS atau Permendikbud No. 23 Tahun 2017 yang, ternyata juga tidak ada paksaan dalam pelaksanaannya. Bahkan anak didik juga tidak perlu pulang larut sore. Permasalahan sesungguhnya, justru pada aspek pemenuhan fasilitas sekolah baik menyangkut ketersediaan dan kesiapan guru maupun Sarpras.
Inilah persoalan inti yang, seharusnya, diperjuangkan NU yang kini mulai kesengsem mengikuti pola gerakan PKB. Sejauh mana komitmen pemerintah sebagai alat negara mem-fasilitasi dunia pendidikan? Meski sudah ada BOS, BOPDA, BOS MADIN, BOS SLTA dan Bantuan Sarana Penunjang SMK, pemerintah wajib memberikan dan meningkatkan fasilitas secara merata (tanpa pandang bulu) kepada seluruh sekolah (negeri maupun swasta), sehingga tidak ada lagi sekolah yang surplus dana tapi sebagian besar lainnya justru miskin fasilitas.

Tanya Said Agil