Wacana pemotongan gaji PNS sebesar 2,5% untuk zakat merupakan ide yang bagus untuk menggali potensi zakat yang dimiliki umat islam di negara tercinta ini. Seperti yang diberitakan SERUJI pada Kamis (8/2) , Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin memperkirakan terdapat potensi sebesar Rp10-15 triliun dari perolehan pengumpulan zakat ASN. Sebuah potensi yang cukup besar.
Namun saya belum tahu bagaimana cara menag menghitung potensi tersebut. Tulisan saya kali ini juga bukan dalam rangka untuk membahas tentang potensi zakat yang besar tersebut, juga bukan dalam rangka menganalisa PNS yang seperti apa yang wajib bayar zakat karena memang bukan kompetensi saya untuk membahas itu.
Dalam tulisan ini saya hanya ingin mengajak merenung kawan-kawan sesama KORPRI (Korp Pegawai Negeri) tentang gaya hidup sebagian mereka yang suka” mengamankan” SK PNS nya di bank. Mengamankan SK adalah istilah yang populer dikalangan PNS yang maksudnya adalah menjadikan SK PNS sebagai agunan hutang di bank.
Saat awal menjadi PNS saya pernah bertanya pada staf kantor yang mendapat tugas mengambil gaji teman-teman sekantor . “Pak Fulan tidak merasa keberatan harus mengambilkan gaji kawan-kawan semua? apa nggak takut resikonya kalu bawa uang banyak?” spontan dia menjawab “Nggak banyak kok , kan gaji teman-teman sudah pada habis”.
Terbelalak saya dijawab begitu. Rupanya maksud dari staf kantor tersebut adalah bahwa gaji teman-teman tinggal sedikit karena sudah dipotong langsung untuk bayar cicilan hutang.
Setelah saya pindah kantor di daerah yang berbeda, budaya “mengamankan” SK di bank juga hampir sama dengan kantor sebelumnya. Bahkan ada yang setiap awal bulan bukannya ngambil uang tapi malah nombok untuk setoran cicilan hutang. Saya semakin geleng-geleng kepala.
Dalam satu kantor, PNS yang gajinya utuh tak lebih dari 10%. Semakin besar gaji mereka maka semakin besar pula mereka berani mengambil hutang, sebab kamampuan mereka membayar angsuran juga semakin besar.
PNS memang sasaran empuk bank untuk menawarkan program-program mereka. Mengucurkan kredit pada PNS resiko kredit macetnya sangat kecil, sebab bank langsung kerjasama dengan bagian keuangan kantor yang bisa langsung potong gaji di setiap bulannya.
PNS pun menyambutnya dengan suka cita karena hanya dengan selembar kertas mereka bisa pulang membawa uang sesuai yang mereka inginkan. Tidak ribet, tidak perlu disurvey, dan pencairannya tidak perlu menunggu lama. Sehingga mimpi mereka untuk membeli sesuatu segera bisa terwujud dalam waktu sekejap.
Beragam alasan mereka mengajukan kredit ke bank, membangun rumah, beli motor, beli mobil, bayar sekolah dan lain sebagainya. Sejauh yang kutemui tak satupun yang alasannya karena untuk makan.
Saya pernah bertanya sama teman-teman “Apa nggak sayang kita setiap bulan ngasih bunga ratusan ribu rupiah ke bank?, apa nggak lebih baik kita menabung dulu saja, setelah uang terkumpul baru kita belanjakan?
Jawabannya beragam, namun mayoritas menjawab ”Bila tidak hutang maka uang malah habis tidak jelas”. Namun ada juga jawaban yang agak rasional “mengumpulkan uang kan juga butuh waktu, sedangkan harga-harga semakin lama juga semakin naik”
Mayoritas kawan-kawan saya itu adalah muslim, bukankah dalam pandangan islam berhutang itu mempunyai konsekuensi yang sangat besar? Bahkan syuhada pun harus tetap mempertanggungjawabkannya. “Semua dosa orang yang mati syahid itu diampuni, kecuali jika memiliki utang.” (HR. Muslim).
Gaya hidup gemar berhutang seperti PNS dilingkunganku itu tidaklah mewakili seluruh populasi PNS. Tapi dari sedikit sampel tersebut saya menyimpulkan PNS berhutang bukan karena kondisi terpaksa, sehingga misal gaji mereka dipotong 2,5% tidak akan banyak mempengaruhi kehidupan mereka sehari-hari. Untuk bayar bunga bank setiap bulan yang besarannya kadang melebihi 2,5% saja mereka mampu dan santai-santai saja.
Seandainya mereka tidak berhutangpun sebenarnya mereka bisa memenuhi kebutuhannya asal mereka sabar, tidak terburu-buru untuk segera mewujudkan keinginannya. Merasa cukup dengan apa yang dimiliki, pengeluaran tidak boleh melebihi pemasukan. Bisa menahan diri dari keinginan belanja berlebihan agar bisa menyisihkan uang sehingga program-program pembiayaan kehidupan bisa terlaksana, termasuk program pendidikan anak.
Jadi menurut saya tidaklah masalah zakat PNS dipotong otomatis dari gaji mereka. Dengan pelaksanaan yang tetap berpegang pada fiqih zakat tentunya, termasuk diantaranya harus dipilah siapa yang sudah mencapai nishab dan siapa yang belum.
Apalagi seperti yang dilansir SERUJI kamis (8/2) soal instrumen pemungut zakat bagi ASN, Menag mengatakan dana zakat itu akan dikelola Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan lembaga-lembaga amil zakat, yang mana lembaga-lembaga tersebut sejauh ini diaudit oleh auditor publik sehingga kinerjanya bisa dipertanggungjawabkan . Maka tidak ada alasan lagi PNS menolak diambil zakatnya langsung dengan potong gaji karena tidak percaya atas pengelolaan zakatnya.