Presiden Jokowi sudah memasuki tahun ke-4 mengendalikan pemerintahan Indonesia. Pasang surut suhu perpolitikan juga naik turunnya perekonomian menjadi fenomena tersendiri dalam pemerintahannya. Pembangunan infrastruktur yang begitu masif terutama di kawasan Indonesia timur yang diduga dibiayai dengan pinjaman asing yang bahkan membuat nilai hutang negeri ini mencapai Rp 4.000 triliun. Tentunya dengan harapan investor asing tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia yang secara otomatis dapat meningkatkan pendapatan rakyat dan negara. Meskipun ada rasa kekhawatiran ketika investor tersebut membawa tenaga kerja dari negara masing-masing, tentunya pemerintah harus menyiapkan peraturan yang tepat.
Dalam beberapa hal kebijakan pemerintah terasa begitu kontra-produktif terutama dalam kebijakan pertanian. Kebijakan impor beras yang memperjelas akan ketidakharmonisan antara menteri-menteri sebagai pembantu presiden. Kementerian Pertanian mengupayakan swasembada pangan sedangkan Kementerian Perdagangan mengadakan impor beras. Kebijakan juga terasa dalam Kementerian Kelautan dan Perikanan yang melakukan tindakan tegas dengan melakukan peledakan dan penenggelaman kapal-kapal pencuri ikan ditentang oleh pendapat yang berbeda dengan kementerian pertanian.
Kondisi ini menimbulkan sebuah pertanyaan yang sangat susah untuk mendapatkan jawabannya.
Apakah Presiden Jokowi “menyandera” bangsa ini dengan kebijakan-kebijakannya?
Ataukah apakah Presiden Jokowi “tersandera” oleh kekuatan-kekuatan politik dibelakangnya?
Dalam beberapa kesempatan seringkali Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia – Perjuangan (PDI-P), Ibu Megawati Sukarno Putri menegaskan bahwa Jokowi adalah petugas partai. Hal ini seakan menegaskan bahwa Jokowi adalah milik partai yang harus tunduk kepada AD/ART partai. Hal ini tentunya memberikan kesan bahwa Presiden Jokowi “tersandera” oleh partai pengusungnya. Ketika partai tersebut melakukan pelanggaran terhadap negara ini, maka akan menjadi buah simalakama antara sebagai “anak durhaka” partai atau menegakkan hukum yang seadil-adilnya.
Kebijakan-kebijakan beliau juga dirasakan sebagian rakyat Indonesia telah “menyandera” kebebasan dan perekonomian negeri ini. Kebijakan impor beras, bawang putih dan garam membuat perekonomian bangsa sebagai negara dengan lahan pertanian yang luas dan garis pantai yang panjang menjadi tergantung dengan negara lain. Demikian juga dengan diperkuatnya UU tentang pasal penghinaan yang membuat kesan bahwa pemerintah terutama presiden sebagai pejabat anti kritik. Indonesia adalah bangsa multikultur dengan beragam budaya dan bahasa. Ucapan bagi suatu daerah adalah sebuah hinaan, ketika diucapkan didaerah lain adalah ucapan yang biasa.
Pada saat ini kritik terhadap Bapak Jokowi selaku kepala pemerintahan begitu masif, baik dari kalangan awam sampai dengan pejabat dan kaum intelektual. Boleh dikatakan saat ini begitu banyak pasang mata dan telinga yang sedang mengawasi kinerja beliau. Mereka siap menyampaikan kritik kepada beliau meskipun sebagian benar-benar sebagai kritik yang membangun dan sebagian lainnya lebih pantas disebut cemohan.
Tentunya rakyat bangsa Indonesia semakin cerdas untuk menilai terhadap kondisi ini. Tersandera atau menyanderakah beliau saat ini?. Rakyat adalah kekuatan dalam demokrasi, meskipun dalam aturannya sudah diwakilkan oleh anggota legislatif yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat baik di daerah maupun pusat.