KANDY (SRI LANKA) – Aktivis hak asasi manusia (HAM) Sri Lanka menuding polisi melakukan pembiaran terhadap aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Buddha di wilayah tersebut pekan ini (4/3), yang mengakibatkan toko-toko milik muslim terbakar dan masjid diserang.
“Laman-laman media sosial mengajak sekelompok etnis Buddha Sinhala berkumpul di Teldeniya pada pukul 10. Pada saat itu, terang-terangan sudah ada kecenderungan untuk rusuh. Pengrusakan terhadap properti milik Muslim dimulai pukul 13.00,” terang Rajith Keerthi Tannakoon, direktur eksekutif Pusat HAM Sri Lanka, dikutip dari Al-Jazeera (09/3).
Rajith tidak menduga pembiaran ini terjadi dan mengutuk ketidak-efisiensian aparat hukum tersebut yang tidak mampu mengantisipasi dan mencegak tindakan kekerasan tersebut terjadi.
Najah Mohamed, seorang politikus lokal, mengatakan pada media bahwa aksi kekerasan ini tidak hanya terjadi di wilayah tersebut, namun telah menyebar ke seluruh wilayah Sri Lanka.
“Kami mengalami situasi yang sama seperti pada pemerintahan sebelumnya dengan tensi, kebencian, dan kekerasan terhadap Muslim begitu terlihat jelas terutama wilayah mereka menjadi minoritas,” jelasnya.
Kekerasan SARA sering berakibat fatal di Sri Lanka dimana etnis Muslim mencakup 10 persen dari populasi Srilanka dan etnis Buddha Sinhala 75 persen.
Presiden Sri Lanka Maithripala Siresena yang terpilih sejak 2015 telah mengatakan dalam janji kampanyenya bahwa pihaknya akan melakukan penyelidikan terhadap aksi kriminal anti-Muslim yang terjadi selama bertahun-tahun, namun belum ada progres yang signifikan.
Terkait kekerasan yang terjadi awal pekan tersebut, sehari setelahnya (5/3) Sri Lanka telah mengumumkan keadaan darurat selama 10 hari, namun Presiden Sirisena dan Perdana Menteri Ranil Wickremasinghe belum memberikan pernyataan resmi. (Gzl)