Begitu banyak umat yg berjama’ah membentuk kelompok-kelompok yang masing-masing meng-klaim bahwa mereka yang benar atau mereka mengatakan para ustadz maupun pemimpinnya lah yang benar.
Padahal Allah SWT berfirman dalam Quran Ali Imran ayat 79:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتٰبَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِّى مِن دُونِ اللَّهِ وَلٰكِن كُونُوا رَبّٰنِيِّۦنَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتٰبَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ
Yang artinya:
‘Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah”. Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”’
Tanpa disadari, jangan-jangan mereka telah menjadi penyembah golongannya, penyembah ustadznya. Perlahan muncul fanatisme yang berlebihan pada pemimpinnya. Ia mulai menggantungkan diri pada jamaah, organisasi, dan menggantungkan diri pada kiyainya. Ini berbahaya, karena ustadz dan pemimpin itu juga manusia, jamaah itu terdiri atas manusia yang bisa berbuat salah.
Seharusnya hanya kepada Allah dan RasulNya kita menggantungkan diri. Menjadi orang orang yang rabbani, yang menurut surat Ali Imran di atas, tidak pernah puas diri atas ilmu yang didapatnya, dan dari yang ia dapatkan ia mengajarkan kepada orang lain.
Orang yang rabbani itu mungkin seperti yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib, ‘takwa itu ketika merasa diri ini tidak lebih baik dari orang lain,’ sehingga ia senantiasa membuka diri untuk mengambil ilmu dari siapapun, golongan apapun.
Ia juga seperti Imam Syafi’i, yang dalam tiap kasus walaupun merasa pendapatnya benar selalu mengakhirinya dengan perkataan, ‘bisa jadi pendapat orang lain lebih benar.’ Ia sadar betul bahwa ia hanyalah seorang manusia yang bisa saja khilaf, dan ia menunjukkan itu kepada umat.
Karakter rabbani mungkin juga tidak pernah jauh dari tiga buah hadits yang tercantum dalam koleksi Arbain an-Nawawi: ia senantiasa meluruskan niat (hadits 1 tentang niat), menjaga diri untuk tidak berlebihan (hadits 5 tentang bid’ah), dan menjauhkan diri dari yang dibenci Allah dan Rasul, dan melakukan apa yang dicintaiNya (hadits 6 tentang halal-haram).
Berjama’ah di suatu golongan atau kelompok itu sangat dianjurkan dalam Islam. Begitu juga belajar dari para ustadz dan kiyai. Mudah-mudahan dengan senantiasa mengingat konsep Rabbani yang tertera di ayat Quran di atas, kita tidak jatuh pada fanatisme yang berdampak pada permusuhan, ataupun tidak mudah kecewa akan pemimpin atau ustadz kita yang membuat kita berbalik menjadi benci. (Gzl)



