Ada yang terasa ganjil ketika kita membaca alamat seseorang di Sumatera Barat. Dikolom alamat KTP tertulis Padang Lawas, Saok Lawas, Air Batumbuk dan Koto Gedang. Selintas terlihat nama tempat ini ditulis dalam bahasa Indonesia. Namun ketika dicari dalam kamus besar bahasa Indonesia ternyata kata tersebut punya makna yang jauh dari kata asalnya dan bahkan ada yang tidak ditemukan sama sekali. Kata batumbuk, gedang, bangis tidak jelas maksud dan artinya.
Kata “Lawas” dalam penulisan Padang Lawas atau Saok Lawas sebenarnya berasal dari bahasa Minang “Laweh”. Laweh jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya luas. Sementara Lawas dalam bahasa Indonesia maknanya lama atau usang. Dengan demikian Padang Laweh dalam bahasa Minang yang punya arti Padang Luas, setelah di Indonesiakan tulisannya jadi Padang Lawas maka artinya Padang Usang atau Padang lama.
Jika ingin bahasa Indonesia yang benar, maka Saok Lawas harus ditulis “Tutup Luas”, Aie Batumbuak jadi “Air Beradu”, Koto Gadang jadi Kota Besar, Aie Bangih jadi Air Bengis dan seterusnya.
Sebagian orang mengatakan apalah arti sebuah nama? Tapi menurut penulis, nama adalah indentitas. Dari nama kita mengerti tempat itu ada di mana. Kalaupun ada nama yang mirip dengan ditempat lain, berarti ada pertalian akar sejarahnya. Kota Baharu, tidak mungkin di Minangkabau tapi adanya di Malaysia. New York di Amerika Serikat punya pertalian sejarah dengan York di Inggris. Demikian juga Sidodadi di Pasaman Barat, punya pertalian sejarah dengan Sidodadi di Jawa Timur.
Walaupun ini masalah klasik yang sudah berlangsung lama di Sumatera Barat, namun masih tetap hangat dibicarakan. Dimedia sosial kembali hal ini jadi perbincangan setelah Syahiran Bupati Pasaman Barat beberapa waktu yang lalu menyatakan bahwa ibukota Kabupaten Pasaman Barat adalah Simpang Empat, bukan Simpang Ampek.
Kontan pernyataan ini menjadi perdebatan didunia maya. Ada yang setuju dan juga ada yang tidak setuju dan masing masing dengan argumentasi yang meyakinkan. Bagi yang setuju, alasannya adalah UU No 38 Tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Pasaman Barat yang menyatakan Simpang Empat sebagai ibukota Pasaman Barat. Bagi yang keberatan, alasannya Simpang Ampek nama asli dalam bahasa Minang dimana kota ini adanya. Pemakaian nama Simpang Ampek merujuk pada Perda Pasaman Barat No 5 Tahun 2011.
Ketika menyebut nama ditempat lain, kita tidak pernah mengindonesiakan. New South Wales tidak di Indonesiakan jadi Paus Selatan Baru, New York jadi York Baru, Kaliurang jadi Sungai Udang, Ci Liwung jadi Sungai Liwung dan seterusnya. kita hampir pasti menemukannya dengan nama aslinya meskipun menggunakan bahasa Inggris, Jerman, atau bahasa lain.
Ketika kita mengindonesiakan nama tempat di Minangkabau maka terjadilah berbagai ketidak wajaran seperti Kubu Karambie jadi Kubu Kerambil, Aie Bangih jadi Air Bangis, Koto Gadang jadi Koto Gedang, Sariak jadi Sarik, Koto Laweh jadi Koto Lawas, Aie Tabik jadi Air Tabik, Gantiang jadi Ganting, Pauah Kamba menjadi Pauh Kambar, Sungai Sariak menjadi Sungai Sarik dan Lansek Kodok dijadikan Lansat Kadap.
Seolah Orang Minang tidak PD dengan diri sendiri termasuk dalam hal berbahasa. Padahal kalau kita menyebut nama kita apa adanya, masyarakat internasional pun mau menyebut kita apa adanya. apakah kalau tidak di Indonesiakankan tidak keren? Orang Luar Tidak mengerti? Susah menyebutnya? Bagaimana nama nama ditempat lain? Kita lihat nama2 tempat di lain tetap dengan nama aslinya. Cibeureum dan cibodas di Jawa Barat, Simeulue dan Bireuren di Aceh, Kariango dan Bikeru di Sulawesi Selatan dan lain-lain.
Mari kita biasakan menggunakan bahasa Minang yang benar dalam menyebut nama tempat agar makna dan artinya tidak berobah. Juga agar dunia tahu bahwa etnis Minangkabau itu ada. Kita berharap Pemda Sumatera Barat kedepan akan melakukan. (Elfizon Amir)
Sudah seharusnya pemprov Sumbar mengembalikan nama daerah ke bahasa asalnya. Nama bukanlah sesuatu yg perlu diterjemahkan. Kampung saya sudah kembali ke bahasa asal, ampek angkek yg dulunya empat angkat.