Indonesia Darurat Keadilan
Salah satu penyebab gagalnya beberapa negara di Afrika di antaranya dalam masalah ketimpangan keadilan, sebut saja di Ethiopia, Zimbabwe dan negara-negara yang tergabung dalam benua Afrika lainnya. Perbedaan perlakuan dalam berbagai bidang tersebut menyebabkan salah satu kelompok berontak dan menyebabkan adanya perang saudara, perbedaan perlakuan yang hampir serupa juga sedang marak terjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat kita cintai ini. Satu kelompok mengklaim bahwa merekalah pemilik sah negeri ini dengan menggaung-gaungkan cinta Pancasila dan Ke(Bhineka Tunggal Ika)-an. Nyatanya, merekalah yang mengobrak asas-asas Pancasila dan semboyan negara tersebut.
Sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa” sudah secara kontan dilanggar oleh terdakwa penista agama yaitu Basuki Tjahaja Purnama, ia menganggap bahwa alqur’an tak lebih dari alat pembodohan dan pembohongan pada publik. Nyatanya, alqur’an menjadi pedoman mutlak yang harus diindahkan oleh ummat muslim sedunia. Lalu mereka yang merasa paham agama memandang hal ini bukanlah penistaan, karena ada tafsir lain dalam asbabun nuzulnya ayat 51 surat almaidah tersebut. Jika dikaji pada konteks tentulah dapat kita pahami bahwa hal ini berkaitan erat dengan penistaan agama dan menganggap bahwa para ulama tak lebih dari orang-orang yang menjajakan agama sebagai yang menakut-nakuti dan membodoh-bodohi serta membohongi masyarakat.
Sila yang dilanggar selanjutnya adalah sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, jika dipahami sila tersebut dapatlah kita pastikan bahwa pihak yang berkaitan langsung dalam penanganan kasus tersebut melanggar sila kedua karena adanya perbedaan perlakuan dalam penanganan tersebut. Tidaklah salah ketika masyarakat awam berpandangan bahwa pihak yang terkait melanggar sila kedua ini, karena penista agama pada kasus-kasus lampau biasanya langsung ditahan ketika telah ditemukan alat buktinya. Namun, apa kabar dengan terdakwa yang akrab dipanggil dengan nama ‘Ahok’ ini?. Ia bebas melakukan aktivitasnya sehari-hari seolah tak pernah melakukan apa-apa sehingga dalam proses menjalani persidangan beliau selalu dikawal oleh pihak keamanan yang seharusnya kala itu tak perlu dikawal sedemikian rupa
Berikutnya, sila ketiga. Semua pihak yang membela dan memandang bahwa saudara Ahok benar dan membelanya secara terang-terangan mengakibatkan adanya rasa kebencian dari pihak yang memandang bahwa orang yang hobi ceplas-ceplos ini benar-benar salah dalam hal ini ujaran yang ia lakukan di Kepulauan Seribu tersebut. Kemudian, adanya pihak-pihak yang kembali menyulut amarah masyarakat luas, seperti penistaan yang dilakukan oleh salah seorang masyarakat yang berdomisili di Pandau-Pekanbaru. Ia menyampaikan dalam sebuah postingannya di media sosial bahwa bagaimana umat muslim ini mulia, sementara dalam hal beribadah masih saja ‘nungging-nungging’ seperti manusia yang menyerupai anjing dalam melakukan hubungan kelamin.
Alangkah meluasnya efek penistaan agama yang dilakukan mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut, sebelum ia ditahan banyak sekali hal-hal serupa terjadi di tengah-tengah masyarakat. Contoh tadi merupakan salah satunya, ada lagi saling mencaci dan saling menyalahkan di media sosial. Diduga ada beberapa konten yang menyulut perpecahan tersebut.
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan” adalah sila selanjutnya yang dilanggar oleh pihak-pihak terkait. Seharusnya fatwa ‘Majelis Ulama Indonesia’ menjadi dasar untuk menahan dan menghentikan aksi-aksi serupa untuk meredam perpecahan di tengah-tengah masyarakat. Selama ini, ‘MUI’ selalu menjadi rujukan bagi penegak hukum terkait untuk menentukan sikap yang hendak diambil oleh penegak hukum tersebut untuk menentukan seseorang telah menistakan agama atau tidak. Kasus ini agaknya berbeda, penegak hukum seolah mengabaikan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI tersebut, setelah dilakukan beberapa aksi protes dari umat islam barulah penegak hukum menentukan bahwa saudara yang bermata sipit itu benar-benar bersalah. Namun, beberapa pihak justru memandang penetapan penista agama tersebut sebagai tersangka karena adanya tekanan dari beberapa pihak, mungkin pernyataan tersebut ada benarnya tetapi ketika aksi-aksi itu tidak dilakukan mungkin ‘si ember bocor’ akan kembali melenggang seperti kasus-kasus lainnya. Poinnya, pihak-pihak terkait tidak mengindahkan sila keempat karena tidak bijaksana dan tidak menjadikan MUI sebagai mitra strategis dalam pengambilan kebijakan kala itu. Jika penegak hukum terkait bijaksana sejak awal, barangkali tidak akan terjadi gejolak-gejolak yang terjadi pada hari ini.
“keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” adalah sila kelima yang dilanggar oleh pihak-pihak yang membela penista agama secara mati-matian. Bagaimana mungkin perbedaan perlakuan kepada pembela agama Allah dengan pembela penista agama. Sebut saja saat aksi 212, pelaksanaan demo lebih dari waktu yang ditentukan, kemudian oknum yang katanya menembakkan gas air mata pada Habib Rizieq Shihab yang kala bertindak sebagai orator. Yang membedakannya adalah pihak simpatisan ahok yang lebih dikenal dengan ‘ahokers’ justru melakukan aksi tanpa izin saat melakukan aksi kemanusiaan yang dalam salah satu aksinya menggoyang-goyang pagar mako brimob, ketika dimintai keterangan polisi menyatakan bahwa pihak kepolisian lebih melihat aspek kemanusiaannya. Padahal aksi mereka sudah diwarnai kericuhan seperti menggoyang-goyangkan pagar lapas seolah ingin dirobohkan, kenyataannya polisi tidak bertindak tegas akan hal itu.
Beberapa kasus serupa kemudian muncul dengan segala kontroversinya. Sebut saja politikus Nasdem di salah satu kunjungan kerjanya yang menyatakan ingin membunuh muslim sebelum muslim membunuh mereka. Ia menyatakan bahwa beberapa partai yang kontra pemerintah merupakan partai teroris, antara lain Partai Gerindra, PKS, PAN, Demokrat. Laiskodat menuduh partai teroris karena keempat partai ini menolak disahkannya UU Ormas. Setelah beberapa partai tersebut melaporkan kasus ini ke pihak berwajib, mereka menyatakan tidak bisa memproses kasus tersebut karena Laiskodat memiliki hak imunitas dalam menjalankan tugasnya. Hingga saat ini kasus tersebut masih mengendap di kepolisian setempat.
Kasus yang terbaru saat ini adalah penistaan agama yang dilakukan 2 komika kenamaan yaitu Ge Pamungkas dan mantan penyanyi cilik Joshua Suherman. Ge Pamungkas diduga menistakan agama karena mencibir salah satu dalil yang menyatakan bahwa Allah memberi cobaan karena Allah mencintai hamba-Nya, sedangkan Joshua Suherman dinilai menistakan agama karena menyatakan bahwa anisa ex girlband Chercybel lebih tenar ketimbang Cece Cherybel sebab anisa muslim dan itu seolah dicibir oleh Joshua terhadap cece cherybel. Kasus tersebut sudah dilaporkan oleh FUI namun pihak berwenang juga belum memproses laporan tersebut. Semoga pemerintah dan pihak berwajib lebih bersikap adil ketimbang timpang dalam menerapkan hukum di negeri ini