Bayangkan ada dua orang. Salah satunya tahu betul bahwa dia akan bertemu dengan Allah dan menyadari bahwa setiap tindakannya ada pertangungjawaban. Satu lagi, sebaliknya, beranggapan dia tidak harus berhubungan dengan orang lain. Seseorang yang tidak memiliki rasa takut kepada Allah hampir pasti menyukai perbuatan dosa dan mengabaikan tindakan tak bermoral jika dia merasa senang melakukanya. Jika dia memegang keimanan kepada Allah dan hari Akhir tidak akan tega melakukan apapun yang tidak bisa dipertanggungjawabkannya di hari Akhir kelak.
Dalam kondisi bagaimanapun, orang yang memiliki rasa takut kepada Allah tidak akan menyimpang dari Al-Qur’an, bahkan berpegang teguh padanya. Dia selalu bertindak hati-hati. Memiliki keyakinan bahwa Allah melihat dan mendengar segala sesuatu dan tidak berupaya melanggar keyakinannya meskipun sedang sendirian.
Sepanjang perjalanan hidup, barangkali orang akan menemukan tindakan kejahatan yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki rasa takut kepada Allah. Keengganannya untuk melihat dan menyadari pembalasan dari Allah, menyebabkan orang tersebut kerap memfitnah orang lain yang tak berdosa. Sementara itu, dia hanya memikirkan bahaimana orang-orang tersebut mengikuti kata-katanya.
Orang seperti ini benar-benar melalaikan diri bahwa Allah mengawasi segala sesuatu, tanpa kecuali, dan segala sesuatu ada balasannya di hari Akhir kelak. Bagi yang memiliki pemahaman seperti ini, ujian, penderitaan, atau dijebloskannya dia ke dalam penjara tidak meruntuhkan keyakinannya.
Allah dalam Al-Qur’an, menyatakan hukuman bagi para pemfitnah (QS An-Nur, 24: 11) Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu (juga). Janganlah kamu mengira berita itu buruk bagi kamu bahkan itu baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka akan mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. Dan barang siapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar (dari dosa yang diperbuatnya), dia mendapat azab yang besar (pula)
Dunia yang Mengelabui
Kekeliruan utama masyarakat yang tidak mempedulikan pandangan Islam adalah menyangka dunia yang mereka sentuh dan lihat merupakan suatu hal yang agung dan mutlak pada keberadaan duniawi. Mereka menganggap semua itu “abadi dan tidak pernah berakhir” Mereka memuja semua itu dan mencari pertolongan dengannya. Akibatnya, mereka sedikit demi sedikit melupakan Allah, bahkan mengingkari keberadaan-Nya. Persangkaan mereka terhadap keberadaan Allah adalah tidak nyata dan merupakan khayalan semata, dibandingkan hal-hal yang bersifat duniawi. Itulah cara berpikir yang salah dari orang-orang yang ingkar. Hal yang mutlak bukanlah benda-benda duniawi, melainkan Allah (QS Al-Hajj, 23:62)
Sebenarnya keberadaan benda-benda duniawi hanya ada setelah diciptakan oleh Allah. Keberadaannya menurut kehendak dan perintah-Nya. Dengan demikian, kemutlakan benda-benda patut dipertanyakan. Benda hanya ada sebagai hasil dari perintah Allah. Allah menjelaskan kenyataan ini. “Sesungguhnya, Allah menahan langit, dan Bumi supaya jangan lenyap dan tidak ada seorangpun yang dapat menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya, Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun” (QS Al-Fatir, 35: 41). Ini menunjukkan bahwa dunia beserta isinya tetap ada karena dipertahankan oleh Allah dan jika Dia menghendaki, semua itu akan lenyap.
Sifat Paling Mendasar dari Orang Kafir
Sifat Paling Mendasar dari Orang Kafir adalah ketidakikhlasan mereka. Mereka tidak ikhlas kepada Allah, orang lain, dan bahkan kepada diri mereka sendiri. Meski mereka berlaku hangat ketika berhadapan dengan orang lain demi kepentingan mereka, pada saat yang sama mereka merasa benci atau cemburu kepadanya. Meskipun mereka tahu kesalahan dan kejahatan perbuatan mereka sendiri, mereka menyembunyikan kenyataan ini di alam bawah sadar mereka dan berbuat layaknya orang yang benar dan sempurna.
Ketidakikhlasan ini berasal dari anggapan bahwa tidak seorang pun mengetahui rahasia di dalam hati mereka sehingga orang bersalah tersebut dapat berbuat layaknya mereka yang tidak bersalah meski telah melakukan dosa atau kesalahan. Sesungguhnya merekabenar-benar tidak mengetahui apa yang dipikirkan orang lain dan mereka tidak menyadari bahwa Allah mengetahui semua rahasia hati, termasuk pikiran alam bawah sadar yang mereka sendiri tidak mengetahuinya.
Perilaku orang beriman haruslah benar-benar didasari keikhlasan dan kerendahan hati dihadapan Allah karena Allah yang menciptakan dan mengetahui segala sesuatu sehingga tidak mungkin kita berpura-pura di hadapan-Nya. Seseorang harus mengakui kelemahan, kesalahan, dan kekhilafannya, meninggalkan kemaksiatan dan kembali kepada Allah, serta minta pertolongan dan ampunan-Nya.
Sebelum seseorang memahami kelemahan dan ketergantungannya kepada Allah, dia tidak dapat memiliki sifat tabah, rendah hati, beriman, dan berani hanya dengan berpura-pura bersifat demikian karena “Manusia dijadikan bersifat lemah” (QS An-Nisa’, 4: 28) agar mengerti kelemahannya di hadapan Allah. Oleh karena itu, seseorang harus percaya dan berserah diri kepada Allah serta mengungkapkan kesalahan dan dosanya sebelum memohon ampunan. (Harusn Yahya. Niliai-Nilai Moral Al-Qur’an, 2004)