Conjungtival suffusion (mata kemerahan tapi tidak mengeluarkan kotoran), merupakan tanda khas penyakit leptospirosis.

SUKOHARJO – Seperti yang pernah diungkap SERUJI pada 2 Maret lalu tentang hilangnya delapan nyawa warga Pacitan akibat penyakit leptospirosis menunjukkan bahwa penyakit ini masih menjadi ancaman serius. Pemahaman masyarakat terhadap penyakit ini perlu ditingkatkan supaya tidak terjadi keterlambatan penanganan yang bisa berakibat fatal.

Penyakit leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri leptospira, bisa menyerang hewan maupun manusia. Tempat hidup utama bakteri ini di ginjal tikus yang diinfeksinya. Kuman leptospira bisa bertahan hidup di air tawar selama sebulan. Hewan yang bisa mengidap penyakit ini adalah tikus (terutama), bisa juga babi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, serangga, burung, kelelawar, tupai dan landak.

Kuman leptospira bisa memasuki tubuh manusia melalui kulit yang lecet/luka, selaput mata, hidung yang kontak dengan air atau tanah telah tercemar oleh kencing hewan pengidap leptospirosis. Kuman leptospira bisa juga masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan yang tercemar kuman tersebut.

Butuh waktu selama 4-19 hari dari masuknya kuman ke tubuh hingga muncul gejala penyakit (yang dalam istilah medis disebut masa inkubasi). Misalnya seseorang kakinya lecet kemudian terendam air yang tercemar air kencing tikus pengidap leptospirosis maka dimungkinkan 4-19 hari mendatang orang tersebut akan mulai timbul gejala penyakit leptospirosis.

Ada dua fase pada penyakit ini yaitu fase leptospiremia dan fase imun. Fase leptospiremia merupakan fase awal, berlangsung 4-7 hari dan bisa sembuh sempurna dalam waktu 3-6 minggu apabila pada fase ini sudah dilakukan pengobatan dengan benar. Gejala pada fase ini bisa ringan seperti flu biasa atau bisa juga berat berupa panas tinggi, menggigil, nyeri perut, mual, muntah, diare, sakit kepala hebat, nyeri otot pada hampir seluruh tubuh terutama betis (betis bila ditekan terasa sangat nyeri), mata kekuningan, mata kemerahan tapi tidak mengeluarkan kotoran (conjungtival suffusion). Nyeri tekan betis dan conjungtival suffusion merupakan tanda khas penyakit ini.

Setelah fase leptospiremia pada kasus berat bisa berlanjut menjadi fase imun dimana demam turun setelah 7 hari diikuti keadaan bebas demam selama 1-3 hari, kemudian demam tinggi sampai suhu bisa mencapai 40 derajat celsius disertai kerusakan ginjal dan hati. Dan inilah yang bisa menyebabkan terjadinya kematian. Biasanya penderita yang tidak selamat nyawanya karena datang ke dokter sudah pada fase ini. Selain gejala diatas dibutuhkan juga serangkaian pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosa leptospirosis.

Waspadalah terhadap penyakit ini, apabila timbul sebagian atau seluruh dari gejala diatas dan sebelumnya ada riwayat kontak dengan air atau tanah yang berpotensi tercemar kencing tikus (misal selokan, sawah dan lain-lain) dalam kondisi kulit lecet atau luka lainnya. Riwayat kontak ini sangat penting untuk diceritakan kepada dokter pemeriksa. Dan datanglah ke dokter sedini mungkin.

Kewaspadaan tinggi masyarakat pada penyakit tetanus merupakan contoh bagus yang bisa diterapkan pada penyakit leptospirosis. Banyak sekali pasien datang ke dokter setelah tertusuk paku, padahal dia datang ke dokter belum merasakan gejala apapun dikarenakan mereka sadar bahwa ada potensi penyakit tetanus padanya. Dan biasanya dokter tetap akan memberikan pengobatan meskipun pasien belum merasakan gejala apapun dalam rangka upaya antisipasi agar tidak terjadi tetanus. Akan tetapi untuk penyakit leptospirosis datanglah ke dokter setelah muncul gejala, karena kalau belum ada gejala maka dokter tidak akan memberikan pengobatan.

Upaya pencegahan bisa dilakukan dengan selalu cuci tangan dengan sabun sebelum makan. Mandi dengan sabun setelah melakukan aktifitas yang kontak dengan air atau tanah yang berpotensi tercemar kencing tikus, karena kuman leptospira bisa mati oleh sabun. Menggunakan sepatu dan sarung tangan bagi pekerja yang beresiko tinggi terhadap leptospirosis (petugas kebersihan, petani, petugas pemotong hewan, dan lain-lain). Upaya pencegahan lainnya dengan melakukan pemberantasan tikus.

* Penulis dr. Endang Sulistyowati, adalah seorang dokter yang juga adalah pengurus daerah (Pengda) gerakan Gotong Royong Muslim Kuasai Media (www.sejutaumatmendukung.org).

EDITOR: Iwan Y

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama