SERUJI.CO.ID – Satu tim khusus DPR RI ditugaskan ke daerah perbatasan dan pulau terluar wilayah Indonesia menjelang akhir tahun lalu.
Sepintas pembentukan tim ini kemudian melakukan pemantauan secara langsung ke daerah-daerah perbatasan merupakan hal biasa karena memang sering dilakukan hal serupa pada berbagai isu yang mencuat. Namun setelah mencermati dan mengikuti tim selama beberapa hari akan tergambar betapa masih tertinggalnya wilayah perbatasan sehinga diperlukan pemicu dan pemacu agar ketertinggalan dan keterisolasian segera bisa diatasi.
Di perbatasan Indonesia-Malaysia, khususnya di wilayah Kabupaten Nunukan dan Malinau, Kalimantan Utara, delegasi Tim Pengawasan Pembangunan Perbatasan DPR RI menginap beberapa hari. Waktu itu tim ini dipimpin Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah (PKS) dengan anggota tim, yakni Arteria Dahlan (PDIP), Agung Widyantoro serta Hetifah Syaifudian (Golkar) serta Arvin Hakim Toha (PKB).
Wilayah yang dikunjungi itu berbatasan langsung dengan Sabah, Malaysia. Dialog dengan masyarakat dan jajaran pemerintah serta pihak keamanan serta melihat langsung situasi dan kondisi kawasan perbatasan menjadi agenda yang dilaksanakan.
Hal itu menjadi landasan penilaian bahwa pada kenyataannya, negara tetangga lebih agresif mengisi relung kehidupan masyarakat perbatasan kedua negara. Hal itu dilakukan negara tetangga melalui berbagai strategi, selain pembangunan infrastruktur, juga bahasa, telekomunikasi, radio, lapangan kerja dan usaha.
Apalagi kalau melihat kehidupan masyarakat Lumbis Ogong. Wilayah ini dekat sekali dengan garis perbatasan dan tak sedikit masyarakat yang menggantungkan kebutuhan hidup kepada negara tetangga. Barang-barang kebutuhan banyak diperoleh dari pedagang yang mendapatkan suplai dari negara tetangga.
Entah mengapa untuk gas, BBM dan ayam potong dari negara lain mewarnai pasar tradisional, toko dan warung-warung warga. Memang ada bahan pokok yang disuplai dari dalam negeri, seperti gas dan BBM, namun tak sedikit warga yang memilih produk dari negara tetangga.
Itu baru dari sisi pasokan kebutuhan sehari-hari. Belum kalau berbicara mengenai peluang pekerjaan sebagian warga yang memilih ke negara tetangga, walaupun hanya sebagai pengurus kebun kelapa sawit. Mungkinkah kesempatan atau peluang di wilayah Indonesia yang sedikit? Dengan adanya peluang pekerjaan di negeri tetangga, maka tak sedikit dari warga setempat yang terbiasa menggunakan Ringgit untuk membeli kebutuhan sehari-hari yang juga diproduksi atau disuplai pedagang antarnegara. Kepada tim dari DPR ini tak sedikit warga yang berkata lantang bahwa “jiwa, pikiran dan hati kami Indonesia, tetapi perut kami di negeri tetangga”.
“Ini statusnya sudah berbahaya. Sudah harus waspada,” kata Fahri, waktu itu saat berdialog dengan warga Kecamatan Lubis Ogong.
Tidaklah marah mendengar pernyataan-pernyataan warga seperti itu. Tim hanya meminta pemerintah memerhatikan secara serius kondisi itu dengan kebijakan nyata, bukan lagi wacana dan rencana serta tidak tepat lagi meminta warga di sana untuk menahan sabar. Tak lupa, DPR sebagai mitra pemerintah di bidang legislasi dan penganggaran pun memikul tanggung jawab agar wilayah perbatasan juga terpacu kemajuannya.