Jakarta, Seruji.com- Tahapan pembuktian merupakan hal yang amat penting dalam proses persidangan, karena pada tahap ini dapat ditentukan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa dalam melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut Undang-Undang, yaitu pada pasal 184 ayat (1) yaitu: Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, dan Keterangan Terdakwa.
Alat bukti Keterangan Saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Hampir semua perkara pidana, pembuktiannya bersandar pada keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping dpembuktian dengan alat bukti lain, alat buktu keterangan saksi selalu diperlukan untuk pembuktian.
Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the degree of evidence” keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai pembuktian, maka perlu diperhatikan beberapa hal, antara lain:
- 1 Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji dalam memberikan keterangan di depan persidangan; (Pasal 160 ayat 3 KUHAP)
- 2 Keterangan saksi bernilai sebagai bukti yaitu yang saksi lihat sendiri, saksi dengar sendiri, dan saksi alami sendiri, serta menyebutkan alasan pengetahuannya itu; (Pasal 1 Angka 27 KUHAP)
- 3 Keterangan saksi haruslah diberikan di depan persidangan; (Pasal 185 ayat 1 KUHAP)
- 4 Keterangan seorang saksi belum dianggap alat bukti yang cukup (unus testis nullus testis”; (Pasal 185 ayat 2 KUHAP)
- 5 Keterangan saksi tidak berlaku bila tidak disertai dengan alat bukti yang sah lainnya; (Pasal 185 ayat 3 KUHAP)
- 6 Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri. (Pasal 185 ayat 4 KUHAP)
- 7 Baik pendapat atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi; (Pasal 185 ayat 5 KUHAP)
- 8 Hakim harus memperhatikan, persesuaian antara keterangan saksi, antara keterangan saksi dengan alat buktu lain, alasan saksi memberi keterangan tertentu, serta cara hidup dan kesusilaan saksi yang mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. (Pasal 185 ayat 6 KUHAP)
Menurut Adami Chazawi “ … Asalkan bukan pendapat, keterangan saksi boleh mengenai segala hal atau segala sesuatu, asalkan keterangan itu penting dan relevan dengan tindak pidana yang didakwakan dalam surat dakwaan. Pada pokoknya, isi keterangan saksi adalah fakta yang berhubungan/relevan dengan pembuktian tentang telah terjadinya tindak pidana yang didakwakan, tentang terdakwa yang melakukannya dan tentang kesalahan terdakwa melakukannya. Keterangan saksi yang berhubungan dengan pembuktian telah terjadinya tindak pidana adalah semua keterangan yang menyangkut unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan.”
Keterangan saksi disampaikan di depan persidangan untuk membuktikan dakwaan JPU agar timbulnya keyakinan hakim untuk memutus suatu perkara pidana. Keterangan saksi yang disampaikan adalah tentang semua keterangan yang memuat fakta-fakta mengenai locus dan tempus tindak pidana berikut fakta-fakta yang menunjukan apakah terdakwa yang melakukan atau ikut terlibat melakukan tindak pidana. Serta semua keterangan yang menyangkut hal keadaan batin terdakwa sebelum berbuat, seperti kehendak dan pengetahuan mengenai segala hal baik mengenai perbuatan yang hendak dilakukannya maupun obyek tindak pidana serta segala sesuatu yang ada disekitar perbuatan dan obyek perbuatan sebagaimana yang ada dalam rumusan tindak pidana.
- Sions mengatakan, bahwa keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan, tetapi suatu keterangan saksi dapat membuktikan suatu kejadian tersendiri (Andi Hamzah – 1983). Alat bukti keterangan saksi ini, tidak melekat sifat pembuktian yang sempurna (volledig Bewijskracht), dan juga tidak melekat di dalamnya sifat kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan (beslissende bewijskracht). Tegasnya Alat bukti ini merupakan alat bukti sah yang memiliki nilai kekuatan pembuktian bebas. Hakim bebas untuk menilai kesempurnaan dan kebenaran suatu keterangan saksi, sehingga dapat menggunakannya sebagai pertimbangan atau mengenyampingkannya dalam putusan.
Namun, kebebasan hakim dalam penilaian keterangan saksi harus dilakukan dengan tanggungjawab. Jangan sampai kebebasan menilai menjurus pada kesewenangan yang mengakibatkan orang jahat bisa terbebas, atau orang yang tidak bersalah menjadi dihukum. Oleh karena itu, bila suatu kasus terdapat cukup bukti berdasarkan keterangan saksi, baik antara keterangan beberapa saksi yang saling berhubungan maupun keterangan saksi dengan alat bukti lainnya, kebebasan hakim dalam menilai harus berpedoman pada ‘kebenaran sejati’. (Tim Advokasi GNPF-MUI Pusat)