Demikian halnya soal mahram (yang terlarang dinikahi), karena ia tidak mengalami perubahan dan perkembangan. Adapun persoalan yang mengalami perubahan dan perkembangan, Alqur’an menjelaskan petunjuknya dalam rupa prinsip-prinsip umum, agar petunjuk itu dapat menampung segala perubahan dan perkembangan sosial budaya manusia.
Itu sebabnya, setiap zaman niscaya ada pola-pola yang terus berubah menyesuaikan konteksnya, termasuk tentang bentuk negara.
Dan inilah sebentuk penghargaan Islam kepada umat manusia untuk berikhtiar mengatur dirinya sesuai yang dikehendakinya, asalkan tidak keluar dari koridor spirit hukum Allah SWT.
Bentuk negara itu bisa apa saja, dengan catatan orientasinya semata keadilan yang seluas-luasnya untuk rakyat. Kekhalifahan yang empat (al-khulafa’ al-rasyidun) sendiri proses pengangkatan pemimpin dan bentuk pemerintahannya tidak sama. Yang tunggal itu visinya menghadirkan keadilan bagi rakyat, tanpa pandang latar belakang suku, agama, maupun ras. Semua dilindungi dan diberi keadilan setara.
Bagaimana dengan bentuk negara NKRI Bersyariah yang diwacanakan berulang-ulang oleh Pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab sejak 2016? Ada beberapa catatan penting tentang istilah ini.
Pertama, istilah negara syariah, semisal NKRI Bersyariah, tentu saja tidak pernah digunakan oleh Islam maupun Rasulullah Saw. Sesaat setelah hijrah ke Yatsrib, ketika mendirikan negara di atas berbagai keragaman, baik agama maupun suku, maka term yang digunakan oleh Rasulullah Saw adalah Madinah Munawarah, bukan Madinah Bersyariah.
Karena itu, term NKRI Bersyariah, itu sejatinya bid’ah; tidak ada presedennya dalam sejarah Islam alias mengada-ada. Sesuatu yang bid’ah semestinya dijauhi oleh para pengikut Rasulullah Saw. Apalagi jika istilah ini diniatkan untuk hajat politik yang pragmatis.
Kedua, term syariah itu sangat identik dengan Islam. Padahal faktanya, NKRI itu hasil perjuangan bersama seluruh komponen bangsa dan karenanya menjadi milik semua kalangan.
Tak heran jika semboyan utama bangsa ini adalah Bhinneka Tunggal Ika. Dengan memakaikan pakaian syariah untuk NKRI, maka akan membatasi hak kepemilikan negara ini bagi selain umat Islam. Juga menafikan perjuangan kemerdekaan yang mereka lakukan dengan berdarah-darah.
Ini akan menghadirkan keretakan antar warga bangsa. Cukuplah perdebatan panjang yang melelahkan terkait tujuh kata dalam Piagam Jakarta menjadi pelajaran penting bagi semua dan tak perlu lagi ditarik mundur ke belakang.
Dalam bukunya, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (2011), Yudi Latif menceritakan tarik-ulur tujuh kata yang diusung oleh kalangan Islamis ini. Waktu itu, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada sidang pertama 18 Agustus 1945, sudah mengesahkan Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD 1945, sehingga masih ada tujuh kata pada sila Pertama Pancasila, yakni “… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.