Hari ini bukan saja mobil listrik nirawak yang dikendalikan smartphone telah diwujudkan, bahkan ojek-pun online. Nilai transaksi rupiah digital bagi layanan transportasi daring atau belanja di mall online sangat signifikan. Dalam lingkungan ini tercipta platform ekonomi, marketplace, dan pola hubungan masyarakat yang baru, termasuk dengan pemerintahnya. Meningkat tuntutan agar layanan pemerintah di-delivery secara digital, 24 jam/7 hari, real time dan on demand berdasarkan hasil pembacaan statistik analytic.

Perkembangan internet of things ini menuntut munculnya disruptive mindset, disruptive government, disruptive bureaucrat, disruptive leader, dan juga disruptive  auditor.

Beberapa pemimpin daerah inovatif berupaya mewujudkan e-budgetting, drive-thru PBB, pendaftaran siswa online, smart city bahkan smart kampung, sementara layanan beberapa BUMN juga telah lama bisa ditransaksikan online. Implementasi perkembangan ini bagi BPK lebih dari sekedar pemeriksaan keuangan tradisional dengan menarik data entitas secara elektronik (e-audit), namun perlu shifting ke konsep pemeriksaan yang mampu memaksimalkan benefit bagi multistakeholders melalui pemeriksaan kinerja yang menekankan keefektifan, keefisienan dan keekonomian pemerintah.

BPK perlu merancang pemeriksaan kinerja yang inovatif, saling menyumbang, berbagi, berkolaborasi dan berjejaring dengan berbagai pemangku kepentingan.

Sebagai referensi, BPK Belanda  pernah merancang pemeriksaan kinerja mengenai kualitas sarana-prasarana sekolah dasar dengan melibatkan ribuan orang tua murid melalui sebuah survei internet menyerupai populasi sesungguhnya. Demikian pula BPK Filipina yang melibatkan masyarakat sipil dalam pemeriksaan kinerja atas layanan pemerintah.

Kondisi diatas menekankan pentingnya konsep public value, yaitu pengelolaan pemerintah yang mengindahkan aspirasi para pemangku kepentingan. Sehingga busung lapar di daerah yang memperoleh opini WTP bisa dihindarkan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama