SERUJI.CO.ID – Bitcoin menggegerkan publik internasional hari-hari ini, karena meroket nilai tukarnya terhadap Dollar mendekati 20.000 dari sekitar 0,01 di tahun 2009. Nilai pasar Bitcoin yang tanpa underlying aset ini fluktuatif, seiring perilaku penggunanya yang spekulatif.
Virtual currency ini semakin mainstream, dengan bermunculan ATM ataupun alat bantu transaksinya untuk berbagai bisnis barang dan jasa di berbagai negara. Bahkan Menteri Keuangan Perancis mendorong untuk menjadikannya bahan diskusi pada pertemuan G-20, April mendatang, sebuah peringatan potensi dampak negatif virtual coin terhadap kestabilan ekonomi banyak negara.
Meskipun ditolak beberapa otoritas Bank Sentral, tidak disadari crypto currency ini telah digunakan oleh Facebook ataupun Youtube. Terlebih, masyarakat Indonesia juga terbiasa menggunakan e-toll, produk-produk financial technology, dan bahkan telah diperkenalkan penggunaan kartu kredit dalam pelaksanaan APBN (Kompas.com, 21/2). Fajar era digital telah menyingsing dengan ciri internet of things dan sharing economy, mengonfirmasi teori Christensen (1997) tentang produk teknologi disruptif yang lebih murah, cepat, dan memudahkan.
Terungkap dalam diskusi Inside Story di Al Jazeera, virtual currency yang verifikasinya terdesentralisasi melalui sistem blockchain ini bersifat otonom dan borderless. Mata uang yang sebenarnya kode-kode komputer belaka ini juga ideal bagi pelaku kejahatan. Relevansi fenomena Bitcoin terhadap Badan yang bertugas memeriksa pengelolaan Keuangan Negara (BPK) karena percabangan tantangan yang ujungnya tidak tunggal. Pertama, kerevolusioneran sifat Bitcoin sebagai produk digitalisasi gelombang ketiga, kedua, resikonya terhadap keamanan perekonomian negara, dan ketiga, memunculkan tuntutan shifting paradigma sektor publik.
Merespon Revolusi TI
Government Accountability Office (GAO) Amerika Serikat pernah memprediksi bahwa tantangan kedepan bagi pemerintah adalah perkembangan terutama dalam Teknologi Informasi. Dalam konteks Indonesia, data Hootsuite per Januari 2018 menjelaskan penetrasi internet telah mencapai 132,7 juta (separuh populasi), dimana 79 persen diantaranya adalah pengguna harian rata-rata 8 jam 51 menit. Sementara pengguna aktif media sosial mencapai 130 juta orang (49 persen) selama 3 jam 23 menit per hari. Handphone telah dipegang oleh 177,9 juta penduduk (67 persen), dengan 120 juta (45 persen) diantaranya pengguna aktif aplikasi chat.