Jika seseorang mencari nafkah di bidang tertentu, kemudian datang orang lain juga melakukan hal yang sama di tempat yang sama pula, apakah pendapatannya akan berkurang? Barangkali banyak orang yang mengatakan ya, namun seorang driver taksi konvensional (di perusahaan taksi cukup ternama di kota-kota besar di Indonesia), menyatakan tidak sama sekali. Menarik untuk di telaah.
Para pelaku angkutan umum konvensional yang ikut demo merasa berkurang pendapatannya karena hadirnya angkutan online. Sementara, masyarakat banyak yang gandrung kemudahan transportasi online serta transparansi biaya berkendara.
Lumrah jika mereka berdemo, karena kendaraan harus memenuhi berbagai syarat sebagai angkutan umum, trayek yang terbatas, mungkin juga beban investasi dan operasi yang ikut dipikul pelaku-pelakunya. Ketika omzet menurun namun setoran tetap tinggi, tentu dirasa memberatkan apalagi harga-harga kebutuhan tidak pernah melaju menurun.
Di lain pihak, angkutan online juga didominasi sebagian masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan, alias pengangguran. Dengan konsep bekerja mandiri, pengemudi ojek dan taksi online mampu mengkaryakan diri sendiri. Dua manfaat sekaligus tercapai, yaitu melayani masyarakat yang kesulitan menggunakan transportasi massal sekaligus mengurangi jumlah pengangguran.
Di sisi lain, jumlah kendaraan pribadi selalu tumbuh tiap tahunnya, berakibat semakin penuh sesak jalan-jalan di perkotaan yang kemudian berdampak kemacetan. Sekali terjadi kemacetan, akan membuat bahan bakar terbuang percuma, menjadi kerugian bersama. Bertambahnya jumlah kendaraan pribadi dipicu juga oleh kurangnya layanan transportasi massal di setiap kota di Indonesia, disamping faktor-faktor lainnya.
Seharusnya, tiga jenis moda angkutan (taksi konvensional, angkutan massal, dan taksi online) adalah kekuatan yang bisa digunakan untuk mengatasi problem transportasi di Indonesia, bukan dibenturkan atau bahkan dimanfaatkan demi keuntungan pribadi. Dengan regulasi yang baik, ketiganya bisa saling mengisi di tempat (atau waktu) sehingga lebih berfungsi mengurangi jumlah kendaraan pribadi di jalan raya.
Dari pengakuan driver taksi konvensional, menurut kabar yang diterima melalui grup-grup WA, setiap moda memiliki ‘pasar’ sendiri-sendiri. Pengguna taksi konvensional biasanya dibutuhkan oleh orang-orang yang super sibuk, tidak suka repot dengan aplikasi yang sering baru datang setelah bermenit-menit lewat. Intinya, jika aktif berada di tempat-tempat keramaian, pasti banyak dibutuhkan.
Namun, konsep ini tidak dapat dimengerti bila si driver tidak memiliki softskill spiritual. Ternyata, dirinya menyadari sepenuhnya kekuatan pemberi rizki, yaitu Tuhan, berdasarkan pengalaman-pengalaman yang terjadi sehari-hari.
Bertahun-tahun dilakoni, namun secara cerdas mampu mengamati jika kondisi perasaan dirinya bermasalah, pendapatan selalu rendah. Ketika pasrah atau ikhlas, kerja bisa lebih tekun tanpa tertekan, lebih sabar, dan aura ini berefek kepada penumpang sehingga seringkali si penumpang memberi tips dengan senang hati. Pendapatan pun mengikuti.
Kesadaran ini bisa muncul karena berasal dari keyakinan hidup bahwa rezeki, jodoh dan kematian sudah diatur Tuhan, kemudian diselaraskan dengan berbagai lika-liku hidup yang penuh refleksi. Alih-alih kecewa dan frustasi dengan pesaing, si driver memposisikan energinya untuk lebih peka terhadap peluang. Sebuah inspirasi bagi semua, bahwa hidup bukan sekedar berebutan, namun menjadi sinergi untuk kemanfaatkan lebih besar.
Barangkali, pemegang regulasi juga seharusnya berfikir dan bersikap seperti si sopir taksi ini, bahwa masalah yang timbul hanyalah sekedar pertanda untuk aksi yang lebih bermanfaat bagi semua, bukan dengan berpihak atau menyamaratakan perlakuan pada sesuatu yang berbeda. Cara pandang seperti inilah yang mampu mensinergikan kekuatan-kekuatan yang ada sehingga tercapai kebaikan untuk semua.