Rancangan Undang – undang KUHP terbaru sudah mulai memasuki pembahasan final untuk mendapatkan persetujuan dari DPR. Pasal demi pasal mulai masuk pembahasan final dan tentunya sebagai warga negara, kita akan melakukan pengawasan secara menyeluruh. RUU KUHP ini akan menjadi pedoman bagi para penegak hukum pidana di negeri ini baik dari kepolisian, kejaksaan, penasehat hukum dan kehakiman.

Ada sebuah pasal yang cukup menggelitik hati dan pikiran kita yaitu pasal 484 terutama ayat 1-e. Secara umum jika kita baca cukup menjanjikan dikarenakan perluasan hukum masalah perzinaan yang diperluas menjadi pasangan yang belum menikah/lajang.

Secara lengkap kami tuliskan sebagai berikut:

Pasal 484

1. Dipidana karena zina, dengan penjara paling lama 2 (dua) tahun:
a. Laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya;
b. Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan suaminya;
c. Laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
d. Perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
e. Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan.

2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua, atau anaknya.

3. Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan pasal 26, pasal 27, dan pasal 31.

4. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.

Adapun sisi positifnya adalah sebagai berikut :

  • Ayat 1 e menjadi payung hukum dalam memberantas perzinaan pasangan belum menikah.
  • Pihak ketiga adalah orang tua, anak, suami atau pun istri mencegah persekusi.

Bagaimana dengan sisi negatifnya atas Pasal 484 tersebut :

  1. Kata “ikatan perkawinan” secara umum tentunya dimaksud dengan adanya buku surat nikah dari Kantor Urusan Agama (KUA) bagi umat Muslim. Bagaimana dengan pernikahan warga negara di pelosok daerah atau di suku pedalaman, apakah akan ada perlakuan khusus dikarenakan mereka tidak memiliki surat nikah. Tentunya secara otomatis pernikahan siri dan poligami tanpa se ijin istri pertama dapat dipidanakan dikarenakan tidak memiliki bukti pernikahan yang sah.
  2. RUU KUHP ini juga akan memicu adanya “persekusi” dari oknum yang merasa menjadi polisi moral dalam masyarakat. Sebagaimana kasus yang pernah terjadi di Cikupa, Tangerang beberapa bulan yang lalu dimana warga masyarakat melakukan main hakim sendiri terhadap pasangan yang dituduh berzina.

Terhadap aspek negatif ini, pemerintah seharusnya segera memberikan tinjauan ulang atau pun penjelasan kepada masyarakat agar tidak menimbulkan pertanyaan dikalangan masyarakat. Ketidaktahuan dalam masyarakat akan membuat multi tafsir sehingga akan dapat menimbulkan benturan-benturan atau pun gesekan.

Pasal 484 ini secara umum mampu menjadi “payung hukum” untuk menekan penyakit masyarakat seperti perzinaan dan hubungan bebas. Dan apapun dampak negatifnya tentunya masyarakat jangan main hakim sendiri dan mengembalikan pada proses hukum yang berlaku di negara ini.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama