Problem Asmat sesungguhnya akumulasi sejarah, bahkan dari sejak pemerintah kolonial Hindia Belanda. Apa yang terjadi sekarang adalah tindakan di masa lampau, mencipta situasi menjadi membaik atau memburuk. Namun yang jelas, tak ada perubahan signifikan dibanding daerah lain di Indonesia, tetap terbelakang.
Terbelakang itu identik dengan miskin dan kumuh, begitukah? Sebagian besar akan setuju, namun bukankah sering terdengar orang-orang sangat kaya eksentrik malah hidup dalam keprimitifan alam? Artinya, kaya harta tak selalu seiring fasilitas modern zaman kekinian.
Nah, di mana letak kekayaan suku Asmat? Yang disebut kekayaan menurut hitungan sederhana adalah harta dikurangi hutang. Kalau punya harta 5 juta, tapi punya hutang 4 juta, artinya kekayaannya hanya 1 juta. Bagaimana kalau hutangnya lebih besar? Sebut saja ia si miskin. Suku Asmat? Tak pernah berhutang.
Kalau dianggap ‘hutang budi’ atas usaha ‘pembebasan’ zaman dulu, ya silakan. Mungkin seperti anak Indonesia era milenial dapat warisan hutang 4000 trilyun, ya?
Alasan bisnis, hutang bisa dipakai usaha, investasi istilahnya. Jika pintar, dana hutang diputar dan menghasilkan, sebagian menutup hutang lama. Jika demikian, benar hasilnya kaya raya. Jika gagal, terbelit hutang.
Masalahnya, apa Indonesia selalu menuju menjadi kaya dan mengurangi hutang? Sepertinya, menambah hutang, iya. Menambah surplus devisa, tidak. Sama seperti kasus orang terbelit hutang, kalau bukan salah urus, ya, salah pakai. Dana hutang seharusnya jangan dipakai konsumsi.
Apa pihak investor siap rugi? Tentu tidak. IMF, Jepang, Eropa, AS dan sekarang China, apa mau investasi rugi? Kalau bisa bahkan untung sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat mereka, selama-lamanya. Sekali lagi, selama-lamanya.
Bagaimana agar mereka ‘selama-lamanya’ dibayar atas investasinya? Pakai strategi ‘debt trap‘, mode rentenir internasional dengan bunga riba berkelanjutan, plus tebaran pesona kemewahan nan jebakan konsumtif. Sekali terjebak, hutang tak bisa dilunasi, membayar bunga sampai kiamat.
Tanpa sadar, orang kota sok kaya dengan mudahnya pakai listrik, beli barang impor, BBM bersubsidi hutang negara. Mereka mengambil andil dalam berkontribusi perilaku konsumtif. Sedangkan suku pedalaman Badui, Asmat dan lainnya hidup penuh kesahajaan, namun mandiri tak membebani.
Sudah tak punya hutang, Suku Asmat mendiami tanah di atas mega harta alam terpendam . Maka, jika hutang negara tidak dibebankan melainkan hanya kepada yang telah menikmati berbagai subsidi dari dana hutang, Suku Asmatlah pemilik kekayaan sejati.
Namun, sepertinya orang-orang kota dan ibukota yang tak peduli negeri apalagi rakyat lainnya, sudah mengincarnya dengan harga murah, untuk kemudian kalah dalam jebakan kepintaran penguasa dunia. Demi kemewahan, tak segan berlaku culas di atas penderitaan rakyat. Tapi, semoga tidak.