Hukum di Indonesia saat ini menjadi sorotan publik, ketika berbagai kasus yang terjadi di tingkat penegak hukum: kepolisian, jaksa, pengacara bahkan hakim, mencuat dan membuat masyarakat mempertanyakan kredibilitas setiap institusi hukum. Dari keputusan dan tindakan hukum yang dianggap aneh oleh masyarakat, hingga tidak sama ratanya penindakan terhadap sebagian masyarakat dibandingkan sebagaian yang lain.
Dr. Farid Majdi S.H., M.Hum., juru bicara Komisi Yudisial periode 2015-2020, ikut menganalisa fenomena ini dari sudut pandang akademis melalui akun pribadinya, Sabtu (20/1). Menurutnya, sebagaimana dikutip dari Nitibaskara:2001, hukum bisa menjadi alat kejahatan yang sempurna, sulit dilacak, karena diselubungi oleh hukum dan berada di dalam hukum.
Ia kemudian menjelaskan, bahwa “Judicial Crime” dilakukan dengan menggunakan jabatan dan kekuasan untuk menetapkan seseorang atau sekelompok orang sebagai “salah” atau “tidak salah” dengan simpangkan perkara dari tujuan hukum. Tujuannya, agar menguntungkan dirinya dan merugikan pihak lain dengan merusak tatanan hukum.
Menurutnya, “Judicial Crime” menjadi imunitas kejahatan yang semakin sempurna ketika alat penegak hukum dikuasai oleh para penjahat berselubung kuasa hukum. Dimensi kejahatan ini sangat berbahaya karena bertindak atas nama hukum.
Hukum sebagai alat legalisasi kejahatan dapat secara telanjang terlihat ketika muncul strategi “membajak” lembaga-lembaga penegak hukum dan sejenisnya untuk menyamarkan atau bahkan melindungi kejahatan yang mereka lakukan.
Mendasarkan pada tulisan Coleman (1994), penegak hukum kepolisian memiliki lebih banyak peluang untuk menerima pembayaran ilegal dibandingkan pejabat publik lainnya, karena mereka diminta menjalankan hukum yang lemah untuk mengontrol pasar gelap yang menguntungkan, kata Farid.
Kejahatan jenis ini oleh Edwin Sutherland (1939) disebut sebagai bagian dari “White Collar Crime“, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh seseorg yang memiliki kemampuan dan status sosial tinggi. Korupsi politik bukan bagian yang menarik bagi aparat penegak hukum konvensional (polisi dan jaksa), jelasnya kemudian.
Masih mengutip Sutherland, “kejahatan jalanan” jauh lebih menarik bagi polisi ketimbang kejahatan “kelompok berseragam”, padahal menimbulkan kerugian paling besar bagi publik yang justru diabaikan. Bahkan, dalam situasi ekstrem, potensi polisi digunakan sebagai tameng atas kejahatan tersebut sangat mungkin terjadi.
Ketika situasi tak menentu terjadi, karena hukum justru digunakan sebagai alat kejahatan, ada hal yang perlu dijaga, yaitu akal sehal (nalar) publik untuk melihat dan menilai sengkarut proses hukum yang sedang berjalan.
“Jangan sampai publik melihat ini sebagai permainan hukum sehingga berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap hukum (distrust) karena hukum telah dilihat sebagai bagian dari kejahatan. Atau jangan-jangan lakon itu sebetulnya sudah terjadi di sekeliling kita? Tapi, ah sudahlah!” ungkap mantan dekan UMSU ini.
Pria yang dikenal sebagai sosok yang dikenal sangat lantang menyuarakan permasalahan konsumen di Sumatera Utara, khususnya kota Medan, melanjutkan penjelasan dengan mengutip pendapat Tb. Ronny Nitibaskara, bahwa hal di atas terjadi karena perilaku menegakkan hukum dan sikap menggunakan hukum dalam praktek sulit dibedakan, karena kedua pendekatan itu saling berimpitan (coincided).
Menegakkan hukum tanpa menggunakan hukum dapat melahirkan tindakan sewenang-wenang. Sebaliknya, menggunakan hukum tanpa niat menegakkan hukum, dapat menimbulkan ketidakadilan, bahkan dapat membawa keadaan seperti tanpa hukum (kekosongan hukum).
Dua kutub antara menegakkan hukum dan menggunakan hukum merupakan paradoks yang harus diseimbangkan penegak hukum dalam kekuasaan diskresi. Dengan demikian, masalahnya menjadi sensitif. Setiap saat hukum dapat diterapkan secara diskriminatif.
Masih mengutip pendapat Nitibaskara, bahwa Hartjen mengingatkan, problem kekuasaan diskresi penegakan hukum adalah tipisnya batas antara diskresi dan diskriminasi.
Lebih ekstrem lagi bukan hanya diskriminatif. Menonjolnya sifat teknikalitas hukum modern, sehingga hanya dikuasai mereka yang berkecimpung di bidang hukum, dapat mendorong penguasaan diskresi, memanfaatkan hukum secara leluasa, kemudian menggunakannya sebagai alat kejahatan.
Farid kembali menjelaskan dengan mengutip pendapat Tb Ronny R Nitibaskara dalam buku “Tegakkan Hukum, Gunakan Hukum (2006)”, logika di balik menggunakan hukum itu sering menyesatkan. Orang yang tampak sungguh-sungguh berbicara hukum, bahkan kelihatan amat keras sampai beradu urat leher, kadang-kadang tidak memiliki niat agar hukum tegak. Sebaliknya, tidak peduli hukum runtuh karena hal itu.
Masalahnya, peristiwa seperti itu menunjukkan telah terjadi dengan upaya sistematis, menggunakan hukum, untuk mengesahkan tindak kejahatan. Tragisnya, pelaku utama justru aparat penegak hukum yg ditugasi negara melawan kejahatan yang dikerjakan sendiri, lanjut Farid mengakhiri kutipan Nitibaskara.
Ralat. Seharusnya Farid Wajdi, bukan Farid Majdi.