Tatkala maut akan menjemput kita, sudahkah kita mempersiapkan diri untuk itu?

Teringat Nabi Dawud dalam gubahan kisah ringan, tatkala Beliau dikunjungi malaikat Izrail, maka terjadilah dialog ringan atara mereka berdua.

Dawud : Gerangan apa yang menyebabkan engkau datang kemari, apakah akan mencabut nyawaku atau sekedar bersilaturrahim ?

Izrail : Kedatanganku kali ini hanyalah untuk bersilaturrahim.

Dawud : Baiklah kalau demikian. Tetapi jika saatnya nanti engkau datang untuk mencabut nyawa, aku harap jauh-jauh hari engkau beritahu aku terlebih dahulu agar aku dapat mempersiapkan diriku saat menghadap kepada Allah.

Izrail : Baiklah jikalau itu permintaanmu, maka akan aku laksanakan.

Demikianlah yang terjadi, hingga datang hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun pun selalu bertambah sesuai dengan perkembangan dalam kehidupan Nabi Dawud. Tentunya dengan segala macam aktifitas yang beliau lakukan, sedikit demi sedikit dapat melupakan peristiwa kedatangan malaikat Izrail kala itu.

Suatu hari, tatkala beliau dalam keadaan badan sehat yang sangat prima. Tiba-tiba datanglah malaikat Izrail untuk kedua kalinya. Maka terjadilah dialog sebagaimana yang terdahulu.

Dawud : Wahai Izrail, apakah engkau datang kali ini murni untuk bersilaturrahim ?

Izrail : Bukan, tetapi aku datang karena membawa amanat Allah untuk mencabut nyawamu.

Dawud : Tidakkah kita sudah membuat perjanjian, bilamana engkau datang untuk mencabut nyawaku maka jauh-jauh hari engkau harus memberitahuku terlebih dahulu ?

Izrail : Yaa, benar … ! Tetapi tidakkah engkau ingat bahwa uban yang telah bertebaran di rambutmu itu adalah peringatanku kepadamu. Tatkala gigimu tanggal satu persatu, tatkala stamina tubuhmu sudah mulai berkurang, tatkala sakit yang bermacam-macam silih berganti menghampirimu, tidakkah semua itu termasuk bukti bahwa jauh-jauh hari aku sudah memberitahumu. Nah saat inilah Allah telah memerintahkanku untuk mencabut nyawamu.

Kisah di atas sungguh sangat dalam maknanya. Betapa kita semua akan merasa, betapa sudah dekat sekali diri kita dengan peristiwa yang sangat tidak kita harapkan, bahkan tidak diingikan oleh hampir semua orang yang masih hidup, yaitu kematian.

Rasanya setiap dari kita ini ingin hidup seribu tahun, bahkan lebih dan lebih. Rasanya tidak ada seorangpun yang ingin segera didatangi malaikat Izrail. Jangankan kita, Nabi Dawud pun sempat memprotes saat malaikat Izrail datang untuk menyampaikan tugas mulianya.

Sudahkah kita mempersiapkan untuk itu semua? Atau tetap saja kita terus menikmati hidup dengan bergelimangan dosa, canda dan tawa? Atau bahkan kita semakin bangga dengan kemaksiatan yang silih berganti bergumul dalam kehidupan kita?

Otak kita, sangat berpotensi untuk menambah isi gudang dosa akibat kemaksiatan, yaitu tatkala kita pergunakan untuk memikirkan hal-hal negatif yang bertentangan dengan syariat agama Islam.

Demi meraih jabatan kadang tak segan-segan kita bergabung dengan kaum penginkar syariat, ini termasuk maksiat otak.

Demi seonggok jabatan maka fikiran kotor terlintas dalam otak untuk meraihnya dengan menghalalkan segala cara.

Mata kita, sangat rawan untuk menyaksikan kemaksiatan di alam nyata maupun dalam acara pertelivisian nasional serta dunia maya.

Dosa itu datang tatkala kita melihat aurat orang lain, dan rasanya hampir tiap hari dosa macam ini kita lakukan. Bahkan rasanya kita sudah tidak peduli lagi atas batasan aurat yang wajib ditutupi agar tidak tersingkap di mata kita.

Batas aurat lelaki yang haram dilihat adalah antara pusar dan lutut, sedangkan untuk wanita adalah seluruh anggota tubuhnya.

Rasanya mata kita ini masih kerap melihat aurat-aurat yang kini semakin transparan saja di tengah kehidupan masyarakat yang komplek dan majmuk.

Mulut kita, rawankah mulut kita mengindap penyakit maksiat? Sungguh amat sangat rawan tentunya.

Menggunjing kekurangan orang adalah maksiat, berkata kurang sopan termasuk maksiat, bicara bohong adalah maksiat.

Ooh alangkah banyak rasanya kemaksiatan mulut ini yang telah kita perbuat selama ini.

Membohongi rakyat adalah maksiat, meremehkan syariat seperti mengatakan `hanya selembar kain` dalam mengistilahkan kewajiban berjilbab adalah maksiat.

Telinga kita, betapa banyak godaan maksiat telinga yang kini melanda komunitas umat Islam di berbagai kalangan. Baik kalangan insan per-film-an semacam mendengar acara ‘Kisah Seputar Selebriti’ alias namimah modern dan pergunjingan masa kini, atau kalangan masyarakat penghuni tempat hiburan, pasar perniagaan, dan sebagainya.

Hati kita, penyakit hati termasuk penyakit yang sangat sensitif dalam menyerang kita yang berdampak pada membengkaknya nominal dosa yang merasuki jiwa kita.

Bahkan bermacam-macam jenis penyakit hati silih berganti bergelayut dalam diri kita.

Iri, dengki, hasud, sombong, riak, ingin dipuji, merasa paling baik, merasa paling hebat, pamer, bangga dengan harta, tahta dan wanita, dan lain sebagainya kerap kali singgah dalam kehidupan kita.

Menolak kebenaran, menutup-nutupi kemunkaran, merestui kemaksiatan, mendiamkan kejahatan dan yang semacamnya termasuk penyakit hati yang dewasa ini marak sekali melanda kehidupan umat Islam yang kita berada di dalamnya. Semua itu adalah penyakit hati yang rawan mengindapi diri kita.

Tangan kita, betapa banyak kemaksiatan yang sering diperbuat oleh tangan kita.

Memukul orang tanpa sebab yag jelas, menyembunyikan barang milik teman, memanfaatkan barang teman tanpa izin, mengambil hak orang lain, memalsu surat dan berkas, menyontek karya milik orang lain, memalsu tanda tangan, memalsu data, memalsu ijazah, dan masih banyak jenis kemaksiatan yang sering dilakukan oleh tangan.

Perut kita, sudah berapa banyak makanan yang tidak jelas halal-haramnya telah masuk ke dalam perut kita?

Padahal Nabi SAW telah mendiskrepsikan makanan yang tidak jelas halal-haramnya sebagai makanan syubhat, seraya bersabda, `Barangsiapa yang mengkonsumsi makanan yang syubhat maka sungguh dia telah terjerumus di dalam keharaman`.

Kaki kita, jika selama ini kita pergunakan kaki ini untuk menempuh jalan kemaksiatan, sudah selayaknya kita hentikan langkah itu. Karena langkah-langkah ke arah kemaksiatan itu semakin menambah dosa dan beban kita kelak di akhirat nanti.

Langkah gontai di akhirat tak akan terelakkan, manakala kita tidak pandai menjaga kemana kaki ini sering pergi, jika perginya ke tempat-tempat yang dimurkai oleh Allah, maka pasti deraan siksa dari malaikat akan kerap menghampiri kaki kita, di sanalah langkah penuh gontai tercambuk-cambuk itu akan memulai kisah hidup kekal dibalut siksa dan kesedihan. Na`uudzu billah.

Seiring dengan berlalunya waktu, bertambahnya umur, desah nafas silih berganti, berkurangnya stamina hidup, otak semakin payah, mata mulai meredup, pendengaran sulit menangkap, persendian sering nyeri, kaki susah berdiri, yang semua itu selaras dengan firman Allah:

Wa man nu`ammirhu nunaqqishu fil khalq (Barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya maka pasti Kami kurangi kesempurnaan tubuhnya).

Lantas menunggu apalagi selain bertaubat dan mendekatkan diri kepada Sang Ilahi.?

Hanya kepada Allah kita akan dikembalikan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama