Lulusan sekolah identik dengan lulus ujian. Setidaknya seperti ini pola pikir yang terbentuk dalam masyarakat akibat bertahun-tahun diterapkan aturan kelulusan berdasarkan hasil ujian. Kebanyakan ujian menggunakan soal pilihan berganda.
Satu soal pilihan berganda berisi satu pertanyaan yang jawabannya ada dalam pilihan terbatas. Untuk anak SMP dan SD ada empat pilihan, sedangkan untuk tingkat di atasnya ada lima pilihan. Setiap pilihan diberi penomoran huruf: a,b,c dan seterusnya.
Soal pilihan berganda cocok digunakan untuk penilaian hasil belajar, karena mengukur secara obyektif tingkat kognitif peserta belajar. Oleh karena itu, dapat digunakan dalam ujian akhir periode pembelajaran. Hasil penilaian soal jenis ini digunakan oleh pendidik untuk mengukur kualitas pembelajaran di kelas.
Namun, soal pilihan berganda memiliki kelemahan mendasar. Pilihan yang terbatas dan hanya satu yang benar bukanlah kenyataan (fakta) yang sesungguhnya. Oleh karena itu, untuk tingkat SMA dan seleksi ujian masuk universitas, ada pilihan berganda yang jawabannya bisa lebih dari satu, namun tetap terbatas. Contohnya :
a. Bila jawaban 1,2,3 benar
b. Bila jawaban 1 dan 3 benar
…
dan seterusnya hingga poin e.
Kelemahan ini menyebabkan soal pilihan berganda tidak cocok digunakan dalam pembelajaran, sehingga tidak disarankan menggunakan lembar kerja siswa (lks) yang berbentuk pilihan ganda.
Karena masih banyak guru masih menganut pembelajaran dengan konsep behavioristik, maka muncul anggapan bahwa hasil ujian yang sebagian besar jenis soalnya pilihan berganda itu perlu dilatihkan dengan latihan-latihan
Ketika anak-anak dilatih terus menerus dengan soal pilihan berganda, maka secara bawah sadar mengarahkan kepada tingkat kognitif yang paling rendah : menghafal. Oleh karena itu, mereka akan tetap kesulitan jika soal-soal divariasikan berdasarkan konsep-konsep pemahaman suatu materi.
Sayangnya, berbagai kebijakan yang dibuat oleh regulator pendidikan terutama di daerah, mendorong sekolah-sekolah
Untungnya, beberapa sekolah yang maju dan mengikuti perkembangan ilmu pendidikan mutakhir, tidak terbawa arus dan tetap menggunakan prinsip-prinsip
Untuk pembelajaran, ada bentuk soal yang lebih konstruktif. Sesuai dengan konsep konstruktifisme
Soal jawab berganda terdiri dari sebuah pertanyaan yang miliki banyak jawaban yang benar. Jika siswa bisa menjawab satu yang benar, maka sudah dianggap cukup. Ketika kemudian ada jawaban yang berbeda tapi juga benar, maka siswa akan mencoba menggeneralisir
Contoh soal dengan jawaban tunggal : “Alat untuk mengolah tanah sawah disebut apa?”
Contoh soal dengan jawaban berganda : “Bagaimana agar tanah sawah mudah ditanami?”
Contoh soal dengan jawaban berganda di atas memang tidak akan dijawab secara tepat oleh siswa. Ketidaktepatan inilah yang membuat belajar menjadi efektif dan bermakna, karena kemudian guru akan memberikan arahan yang membuat siswa berfikir atau bernalar. Bisa jadi, guru akan memberi sedikit petunjuk dengan permisalan-perm
Sedangkan soal dengan jawaban tunggal lebih cenderung mengolah kognitif yang sangat dangkal. Kalau sudah ada yang menjawab, maka tidak ada proses berfikir lagi bagi yang lain.
Namun, pendidik perlu jeli dalam membuatnya. Bisa jadi, sepertinya soal jawab berganda, namun ternyata bukan. Seperti contoh berikut ini :
Contoh soal dengan jawaban tunggal tapi dianggap berganda : “Alat apa saja yang digunakan untuk mengolah sawah?”
Jawabannya memang seperti lebih dari satu. Tapi, sebenarnya masih mengandung bentuk soal jawaban tunggal. Bandingkan dengan soal yang murni jawabannya berganda, ada banyak variasi yang sesuai dengan pengalaman siswanya.
Berdasarkan pengalaman, ternyata paradigma soal dengan jawaban tunggal pun membuat guru salah konsep. Contohnya, ketika ada pertanyaan : “Ketela pohon berkembangbiak dengan apa?”, seringkali jawabannya hanya tunggal : “dengan stek”. Jika ada siswa menjawab dengan biji, akan disalahkan. Padahal, ketela pohon juga bisa berkembang biak secara generatif, hanya tidak “biasa” dilakukan.