Kesalahkaprahan itu yang kemudian sering memunculkan “keributan” antara RS dan masyarakat, ketika ada pasien yang tidak bisa masuk ruang ICU dengan berbagai alasan, entah karena ruangan ICU-nya penuh, atau status pasien ybs dalam jaminan BPJS Kesehatan sedangkan RS-nya tidak bekerjasama dengan BPJS.
Banyak diantara kita yang beranggapan bahwa ICU itu semacam KAMAR AJAIB, yang di situ tertanam berbagai peralatan yang hebat dan canggih, sehingga pasien kritis yang dibawa masuk ke situ bisa dicegah kematiannya.
Bagaimana, ada diantara kawan-kawan yang beranggapan demikian?
Tidak usah kecil hati kalau memang iya. Jangankan sampeyan, saya dulu pun (saat awal-awal baru jadi dokter) berpikiran begitu.
Ada masanya saya, ketika masih menjadi dokter jaga di UGD, bila ada pasien kritis datang maka saya buru-buru menggeretnya ke ruang ICU. Saya bisa jadi senewen kalau ada sesuatu hal yang menghambat pasien itu masuk ICU. Entah itu masalah administrasi, atau masalah teknis lainnya. Bahkan lift macet pun pernah saya maki-maki habis, saking senewennya.
Dan ironisnya, keluarga pasien bisa ikut jadi senewen gara-gara saya. Mereka akan ikut marah, misalnya karena perawat ICU lambat menyiapkan tempat untuk pasien baru, atau urusan administrasi yang menurut mereka terlalu bertele-tele.
Mencerahkan artikelnya pak dokter