Dowwes Dekker adalah salah satu pencabut tonggak kejam kolonialisme di bumi Nusantara. Ia menjadi amtenaar saat Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch memaksa penduduk pribumi (20 juta jiwa) menanami 20 persen tanahnya dengan tanaman yang laku keras di pasaran Eropa. Tanam paksa merupakan upaya untuk mengatasi hutang Belanda kepada Inggris pasca bangkrutnya VOC. Dimulai pada tahun 1830, sistem itu mulai memberikan keuntungan pada tahun ketiga, dengan korban ribuan penduduk pribumi yang mati kelaparan. Ratusan juta Gulden hasil tanam paksa diangkut ke Negeri Belanda dengan kapal-kapal, termasuk yang dinahkodai ayah Dowwes Dekker.

Memanfaatkan bangsawan feodal pribumi, dalam prakteknya sistem tanam paksa itu begitu korup, brutal dan kejam. Kekejaman Belanda kepada penduduk pribumi Nusantara yang disaksikan langsung oleh Edward Dowwes Dekker (1820-1887) telah mendorong amtenaar Belanda itu berbalik menjadi pengkritik paling keras terhadap pemerintah kolonial Belanda. Menggunakan nama pena Multatuli (Bahasa Latin untuk: Saya Sungguh terluka), Dowwes Dekker menulis tiga ratus halaman buku berjudul Max Havelaar hanya dalam tiga minggu. Naskah itu kemudian dibawa ke penerbit oleh pengacara Belanda bernama Jacob van Lennep. Setelah terbit pada tahun 1860 Max Havelaar segera menjadi buku yang sensasional di Belanda, dan bahkan di seluruh Eropa melalui terjemahan bahasa Inggris pada tahun 1868.

Society for Dutch Literature menobatkan Max Havelaar sebagai pengarang paling penting dalam sejarah Belanda. Sebuah riset megaproyek tahun 2006 menyatakan novel Max Havelaar sebagai tonggak sejarah terpenting bagi Kerajaan Belanda, sebagaimana penemuan kincir angin, Van Gogh, Rembrant, Spinoza, dan Anne Frank (Imanjaya, 2010). Lebih dari semua itu, bagi bangsa Indonesia novel Max Havelaar telah menanamkan kesadaran kebangsaan kepada para pelajar pada saat itu bahwa negeri mereka sebenarnya sedang dijajah.

Di Belanda, nama Max Havelaar dianggap “bertuah” dan dijadikan merek berbagai macam produk, seperti teh, kopi, dan madu. Merk Max Havelaar dalam benak masyarakat Belanda telah identik dengan konsep “fair trade”. Selain sebagai nama produk, Max Havelaar atau Multatuli yang melegenda juga dijadikan nama jalan, sekolah, gedung, atau hotel di banyak bagian Negeri Belanda. Di rumah kelahirannya di bilangan Korsjespoortsteeg, Amsterdam yang sekarang menjadi Museum Multatuli, disimpan benda-benda pribadi dan terbitan terkait dirinya.

@@@

Dalam sebuah kunjungan ke salah satu BUMN, penulis mendapatkan suguhan berupa air mineral dalam kemasan (AMDK) merk Jatiluhur Air Demineral, produk dari Perum Jasa Tirta (PJT) II, Jatiluhur. Memang saat ini berbagai BUMN seperti Kementerian BUMN, PT PLN (Persero), Jasamarga, Pelindo II, Telkom Indonesia, Garuda Indonesia dan BUMN lainnya telah memanfaatkan AMDK buatan PJT II Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, sebagai bentuk sinergi.

Jatiluhur Air Demineral melawan konsep “air mineral” yang selama ini diusung oleh pabrikan besar yang sahamnya banyak dimiliki oleh asing. Istilah demineral, menunjukkan bahwa kandungan mineral di dalam air sebagian dihilangkan sampai dengan batas yang aman untuk kesehatan, yaitu sebesar 10 ppm. AMDK ini menggunakan teknologi tinggi, yaitu metode reverse osmosis, proses disinfektan, ozone, dan ultraviolet. Jatiluhur Air Demineral yang tersedia dalam kemasan galon, botol 1500 ml, 600 ml, 330 ml serta kemasan gelas/cup 240 ml ini memiliki harga jual yang lebih murah dibanding produk sejenis lainnya.

Seperti diketahui, dengan liberalisasi UU Sumber Daya Air Tahun 2004 investasi asing mengalir dengan deras. Penguasaan sumber-sumber air tersebut tak jarang bersaing dengan kebutuhan masyarakat setempat tempat mata air tersebut berada. Tanah dan Air banyak dikuasai oleh asing, dengan benefit ekonomi yang juga mengalir ke negara lain. Adalah sebuah ironi, negeri yang oleh para pendahulu berhasil dimerdekakan secara politik dari cengkeraman Belanda, kini secara ekonomi kembali “terjajah” yang tak jarang membuat air mata rakyat kembali mengalir.

Santri AMDK

Belakangan, kabar menggembirakan tersiar dengan hadirnya para produsen AMDK dari kalangan ummat/masyarakat lokal. Perkembangan baru ini patut disyukuri dan perlu didukung penuh, untuk mengembalikan penguasaan ekonomi rakyat/ummat atas Tanah dan Air-nya sendiri. Berikut adalah daftar merk-merk AMDK milik Rakyat yang beredar di sejumlah WA Grup.

  1. Quaya, Ponorogo
  2. Wahdah Water, Makassar
  3. Ukhuwwah Mineral, Makassar
  4. Afiah Air, Jakarta
  5. Nurani, Jakarta
  6. Cloud 9, Medan
  7. Tirta One, Cirebon
  8. Q-Mas, Malang
  9. UIN SU Water, Medan
  10. Ufia, Bekasi
  11. MQ, Bandung
  12. Trisula Water, Makassar
  13. Sekumpul, Banjarmasin
  14. Suli 5, Yogyakarta
  15. QuaZam, Bandung
  16. AJWA, Condet, Jakarta
  17. Kangen Water, Bandung
  18. Al-Ma’soem, Bandung
  19. Asri, Bandung
  20. Hanun, Semarang
  21. Siqoya, Banten
  22. BTW, Pamulang
  23. UINSA Mineral, Surabaya
  24. KHQ Air, Kudus
  25. Buya Air, Kudus
  26. La Tansa, Gontor
  27. Toda, Bogor
  28. Yevaro, Jakarta Bekasi
  29. Pulo Air, Sukabumi
  30. Embun, Bogor
  31. Bening, Bogor
  32. Yasmin, Bogor
  33. Soft Ride, Garut (pemasok terbesar utk U-Mart Bekasi)
  34. AIR MS (Markas Syariah) Mega Mendung Bogor
  35. Maida dari AQL
  36. QBic, Balikpapan.
  37. Cinta Water, Yogya
  38. AirMu, Karang Anyar, Jateng
  39. Walisongo, Semarang
  40. Hikmatan, Pesantren Garut
  41. Santri, Kopontren Sidogiri

Jika terus ditelusuri, daftar air minum produksi rakyat ini akan semakin panjang. Kehadiran “AMDK ummat” merupakan bentuk perlawanan ekonomi terhadap dominasi asing dalam bisnis air minum dalam kemasan. Semoga “AMDK ummat” adalah bentuk kesadaran dan jawaban atas “ketimpangan ekonomi” yang sedang terjadi, serupa Multatuli 157 tahun lalu yang melalui novel Max Havelaar menyadarkan rakyat Indonesia bahwa negerinya sebenarnya sedang dijajah.

*Nico Andrianto, Penulis novel “Deja Vu Nusantara”.

Referensi:

  1. Ananta Toer, Pramoedya, 2006, Rumah Kaca, Lentera Dipantara, Jakarta.
  2. Imanjaya, Ekky, 2010, Amsterdam Surprises: Eksplorasi Kaya Rasa di Negeri Kincir Angin, PT. Lingkar Pena Kreativa, Jakarta.
  3. Shorto, Russel, 2013, Amsterdam; A History of The World’s Most Liberal City, Litle Brown, London.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama