Oleh:
Prof. Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya
SERUJI.CO.ID – Dulu ada presiden yang menyatakan berhenti setelah berkuasa secara otoriter hampir 30 tahun. Ia lalu diganti oleh wakilnya selama masa transisi yang membuka jalan bagi sebuah era yang digadang-gadang sebagai reformasi.
Kemudian jabatan presiden dibatasi hanya untuk 2 periode. Lalu desentralisasi dan demokratisasi menjadi slogan besar reformasi yang wujud dalam perubahan UUD’45 secara mendasar melalui serangkaian amandemen 1999-2004. Euforia reformasi ini ternyata berbuah deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengapa ?
UUD baru hasil amandemen ini disusun oleh legislator inkompeten sehingga disusupi oleh kepentingan asing nekolimik. Akibatnya kehidupan berbangsa dan bernegara kita semakin miskin dari budaya yang menjadi syarat sebagai bangsa merdeka setelah kemerdekaannya diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
Desentralisasi dan demokratisasi ini terjerumus menjadi mekanisme baru rekrutmen pemimpin-pemimpin lokal yang perilakunya malahan buruk dibandingkan dengan para raja Nusantara shareholders sejati Republik Indonesia ini. Berbagai regulasi dan perundang-undangan yang diturunkan dari UUD2004 itu justru melahirkan pemimpin-pemimpin yang makin kemaruk kekuasaan. Kekuasaan politik dijadikan jalan untuk memperkaya diri melalui berbagai modus korupsi yang sebagian justru makin menghina kecerdasan publik. Bahkan ada mantan bupati yang masih memerintah dari dalam penjara melalui anaknya yang menggantikannya.
Pembatasan jabatan dua periode itu disiasati kemaruk kekuasaan dengan dua cara. Pertama dengan cara membentuk dinasti politik yang mencengkeram negeri dan daerah-daerah otonom. Setelah menjabat dua periode, kekuasaan itu dilanjutkan oleh anak atau istri pertama, lalu dilanjutkan lagi oleh istri kedua.
Kedua dengan cara akselerasi, yaitu bahkan tidak menyelesaikan jabatan periode pertama untuk maju ke kontestasi ke jabatan politik dengan kekuasaan lebih besar: masih menjabat Wali Kota maju sebagai calon gubernur, lalu setelah menjabat gubernur belum selesai maju lagi menjadi calon presiden. Di jabatan tertinggi ini pun lalu secara konsisten tanpa malu-malu minta 2 periode dengan berbagai alasan. Saya ragu apakah ada yang berani berhenti jadi presiden untuk maju lagi menjadi khaalifah fil ardh; atau malah dimakzulkan ditengah jalan karena masyarakat muak dengan kemaruk kekuasaannya.
Deformasi selama 20 tahun terakhir ini makin terbukti berhasil merekrut pejabat-pejabat publik yang makin kemaruk kekuasaan yang enggan menepati janjinya menyelesaikan tugasnya bahkan yang satu periode sakalipun. Padahal biaya untuk pemilihannya mahalnya bukan main. Perilaku akselerasi, lalu minta jabatan 2 periode dan membangun dinasti politik ini adalah perilaku yang konsisten kemaruk kekuasaan.
Oleh karena itu kita harus kembali pada UUD’45 untuk menghentikan kegilaan politik kekuasaan yang makin mahal dan gagal merekrut pemimpin-pemimpin negarawan ini. Karena jabatan publik itu amanah, maka jabatan publik itu seharusnya direkrut melalui musyawarah bil hikmah oleh para wakil rakyat yang kompeten, bukan melalui pemilihan langsung one- man one-vote oleh rakyat yang mudah dijadikan korban pencitraan. Bahkan jabatan publik ini di masa depan perlu dibatasi hanya satu periode saja untuk diselesaikan secara tuntas sesuai janji dan sumpah jabatannya.
Gunung Anyar, 24/7/2018