Orang yang semata menggunakan logika, boleh jadi hanya akan menilai suatu ketentuan hukum itu baku atau tidak baku. Kalau baku, hukumnya wajib, sedang kalau tidak baku, berarti tidak wajib. Dengan penalaran yang demikian, orang ini dapat saja menyimpulkan sholat itu tidak wajib. Mengapa? Karena dia akan mendapatkan bahwa tatacara sholat ternyata tidak baku. Misalnya ada yang sholatnya pakai Qunut ada yang tidak Qunut. Ada yang menganggap tumakninah sebagai rukun sholat, ada yang tidak menganggap tumakninah sebagai rukun sholat (mazhab Hanafi). Ada yang menganggap membaca Al Fatihah itu rukun sholat, ada yang mengatakan yang rukun hanyalah membaca Al Qur`an (mazhab Hanafi).
Lalu dia dengan gegabah akhirnya menyimpulkan, “Oh ternyata sholat itu tatacaranya tidak baku ya, kalau begitu berarti sholat itu hukumnya tidak wajib.” Jelas ini adalah kesimpulan yang sesat dan jauh dari kebenaran.
Astaghfirullahal ‘azhiem, na’uuzhu billahi min dzaalik.
Jelas penalaran logika semata ketika bicara hukum Islam adalah penalaran yang cacat dan tidak pada tempatnya.
Cacat epistemologis yang parah dan fatal ini sungguh tidak hanya menyesatkan orang itu sendiri, tetapi juga menyesatkan orang lain, bahkan dapat menyesatkan berjuta-juta manusia di sebuah masyarakat atau negara.
Sungguh Allah SWT kelak di Hari Kiamat akan meminta pertanggung jawaban kepada orang zalim yang telah menyesatkan manusia-manusia lainnya.
Firman Allah SWT (artinya), ”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”
(QS Al Israa` [17] : 36).
Ya Allah lindungilah kami dari kesesatan. Tunjukilah kami selalu pada jalan-Mu yang lurus. Ya Allah, kami sudah menyampaikan, saksikanlah!
Yogyakarta, 9 Desember 2017
Muhammad Shiddiq Al Jawi
HP : 081328744133
E-mail : shiddiq-aljawi@protonmail.com
(ARif R/Hrn)



