Nusantara pernah bersatu di zaman Sriwijaya, Majapahit, zaman kolonial, dan zaman Republik Indonesia. Pernah bersatu berarti pernah tercerai berai. Sesuai jalannya sejarah, tak ada yang kekal. Berarti Indonesia bubar suatu keniscayaan?
Bubarnya sebuah negara selalu meninggalkan sejarah kelam, bahkan sering tragis. Yugoslavia contohnya, tercerai berai diiringi berbagai bencana kemanusiaan berupa konflik berdarah. Namun, proses bersatu pun sering melibatkan konflik besar berupa penaklukan-penaklukan di masa lampau dan perebutan kekuasaan.
Telah tersebut dalam Al Quran berbagai kisah kaum yang dimusnahkan, sebagai pelajaran bagi umat bahwa Allah akan mempergilirkan kekuasaan dari satu kaum kepada kaum lainnya. Tak ada yang sesuatu pun yang berada di puncak tertinggi, pasti akan diganti oleh Allah dengan berbagai bentuk cara dan peristiwa. Tak ada yang kekal secara mutlak selain Allah.
Rakyat Indonesia pastilah berharap tidak kembali ke zaman penindasan kolonial. Rakyat merasa telah bebas merdeka, menentukan nasib dirinya sendiri dengan alat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, alat tidak kekal, akan lapuk dan rusak dimakan zaman.
Banyak pihak merasa over optimis, Negara Indonesia akan kekal. Sejarah mencatat, bangsa boleh besar dan bertahan, namun tidak demikian dengan negara. Bangsa Cina pernah merasakan sebuah imperium raksasa berumur ribuan tahun, jauh lebih superior dibanding NKRI, sekarang tak berbekas tinggal sejarah. Sedangkan bangsanya, masih bertahan.
[Surah Qaaf,50:36]
وَكَمْ أَهْلَكْنَا قَبْلَهُم مِّن قَرْنٍ هُمْ أَشَدُّ مِنْهُم بَطْشًا فَنَقَّبُوا۟ فِى ٱلْبِلَٰدِ هَلْ مِن مَّحِيصٍ
Dan berapa banyaknya umat-umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka yang mereka itu lebih besar kekuatannya daripada mereka ini, maka mereka (yang telah dibinasakan itu) telah pernah menjelajah di beberapa negeri. Adakah (mereka) mendapat tempat lari (dari kebinasaan)?
Masih mending bangsa tidak hilang. Banyak bangsa yang dimusnahkan, hilang tak berbekas sampai anak turunannya. Kaum Aad, kaum Tsamud, suku Inca adalah contohnya. Semua menunjukkan agar tidak berlaku menyombongkan diri di bumi Allah.
Di lain pihak, ada yang super pesimis, merasa tak ada harapan terhadap keberlangsungan negara, sehingga tak mengambil kontribusi apapun. Tanpa guna.
Over optimis membuat orang cinta dunia, super pesimis menjadikan mudah berputus asa. Dua-duanya jalan kehancuran.
Padahal, bangsa-bangsa sedang berlomba, memperebutkan sumber daya yang semakin tiada. Bumi Allah itu luas, cukup bagi semua tapi tidak untuk kemewahan para pecinta dunia. Indonesia, negeri kaya, diintai dari segala penjuru. Tidak waspada, tamat.
Meletakkan optimisme dan pesimisme di tempat yang tepat menjadi penting. Pesimislah atas ‘kebaikan’ bangsa lain, sadar bahwa National Interest suatu bangsa sangat bisa menjadi National Threat bagi bangsa lain. Tanpa kesadaran itu, berarti bodoh yang dibodohi.
Optimisme juga bukan di hasil karena berarti angkuh, tapi yakin bahwa setiap kerja selalu dibalas, setiap kebaikan dilipatgandakan. Negara yang bernama Indonesia perlu diperjuangkan, sedangkan takdirnya dipasrahkan.
Dan, tidak semua komponen bangsa menyadarinya. Masih suka berselang sengketa, lebih parah lagi saling jegal dan sikut demi kekuasaan. Kekuasaan demi kemakmuran, bukan untuk bangsa namun untuk golongannya, demi meninggikan status diri dari saudara-saudaranya. Ada? Banyak. Normal. Sunnatullah. Akibat optimisme berlebihan sampai ingin hidup di dunia selamanya.
Jika lebih banyak anak bangsa sengsara gara-gara segelintir pembesar negeri atas nama negara, akankah berharap Republik Indonesia tetap ada? Tentu tidak. Karena, tidak ada “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Makanya, tak ada yang abadi. sehebat dan sekuat apapun suatu negara pasti akan “bubar” juga. Kapan?