Pada saat tertentu, misal sedang tidak ada yang perlu dikerjakan, pikiran saya kadang suka mengembara entah ke mana. Kadang bisa teringat pada kejadian yang telah lalu. Atau kadang bisa terpikir pada hal lain. Atau kalau sedang baik hati, saya malah kepikiran negara Indonesia tercinta. *sok iya / Jawa : koyo iyo-iyo o*
Ada sebuah analogi yang bagus yang mengibaratkan negara saya tercinta ini dengan sebuah kapal. Tepatnya kapal yang hampir karam dan nahkodanya pun entah kemana. Jadi tinggal menunggu waktu untuk karam. Banyak penumpang dengan sadar atau tak sadar pelan-pelan melubangi kapal. Ada juga penumpang yang melarang. Namun lebih banyak yang tidak peduli. Dan yang tak bisa dinalar, ada yang melarang penumpang yang melarang penumpang lain melubangi kapal. Walau saya juga optimis masih ada beberapa penumpang yang berusaha menambal lubang.
Kalau saya boleh menyederhanakan masalah, terkait ke-akan-karam-an kapal alias negara Indonesia tercinta, setidaknya ada empat hal. SEBAB, PELAKU, TUJUAN, dan PROSES. SEBABnya adalah kekayaan melimpah yang dimiliki bangsa Indonesia terutama kekayaan alam sekaligus sumber daya manusianya. Kekayaan itulah yang menjadi TUJUAN dari para PELAKU. Mereka ingin menguasai semua itu guna modal bersenang-senang. Padahal sudah sangat jelas bahwa kekayaan itu milik anak negeri ini. Sama sekali bukan milik kakek moyang mereka. Nah karena kenyataan itu, terjadilah PROSES ‘perebutan’ kekayaan.
PROSES tersebut ditempuh melalui banyak cara. Salah satunya adalah dengan menggembosi mental dan akhlak anak negeri ini selaku pemilik sah kekayaan negerinya. Kenapa? Agar mereka menjadi individu-individu yang ompong dan dungu. Orang yang lemah hanya akan mencari aman untuk dirinya sendiri. Tak akan peduli dengan nasib orang lain apalagi nasib bangsa dan negara. Lupa kalau dia adalah makhluk sosial. Makhluk sosial yang hubungannya tidak sekedar antar-manusia saat ini, tapi juga antara saat ini dengan masa yang akan datang. Dengan kondisi orang yang lemah seperti itu, akan mudah untuk memindah-tangankan kekayaan.
Selanjutnya adalah cara untuk menggembosi mental dan akhlak itu pun banyak. Tak terbilang jumlahnya. Fakta tak terbantahkan adalah mayoritas anak negeri ini beragama Islam. Dan kita semua tahu Islam itu agama yang mengajarkan apa. Agama yang mengajarkan kedamaian, kesejahteraan, dan kepekaan sosial. Dari sini ada sumbu yang bisa ditarik. Yaitu bagaimana menjauhkan orang Islam dari agamanya. Karena sekali lagi, mayoritas anak negeri ini memeluk agama Islam.
Nah! Untuk menjauhkan muslim dari agamanya, saya (mungkin juga Anda) mendapati sesuatu yang sangat menarik. Yaitu kerusakan Islam yang dilakukan oleh orang-orang (yang mengaku) Islam itu sandiri. Para PELAKU itu jelas tak mau repot. Mereka memilih memperpanjang tangan, lidah, dan kaki dengan menggunakan jasa yang sebut saja agen. Jadi mereka tinggal ongkang-ongkang kaki. Katakanlah para PELAKU itu adalah hiu pemakan daging, para agen ini persis ikan remora yang kebagian remah-remah daging di sela-sela gigi hiu. Anak SMP sudah tahu kalau dalam hal ini, ikan remora berfungsi sebagai ‘sikat gigi’ bagi ikan hiu. Tepat, simbiosis mutualisme! Dan lihatlah, perbandingan besaran daging yang ditelan hiu dengan yang dikunyah si remora yang malang.
Cara yang digunakan oleh remora malang dalam menghamba pada hiu, pun bermacam-macam. Di antaranya adalah dengan berteriak melontarkan pemikiran-pemikiran aneh yang terlihat humanis padahal amat pincang dari segi logika. Mereka juga membentur-benturkan umat Islam pada isu-isu yang membingungkan. Dan dalam waktu yang bersamaan, mereka sekaligus memfitnah Islam. Yang padahal mereka sendiri ber-KTP Islam. Sehingga banyak penganut Islam yang menjadi ‘ragu’ pada agamanya sendiri. Menyedihkan!
Contoh paling mudah dari ide aneh itu adalah yang dikenal sebagai SEPILIS. Sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Pluralisme yang mengatakan bahwa segala sesuatu adalah benar menurut pendapat masing-masing. Orang merampok, orang berjudi, orang berzina adalah benar menurut pelakunya. Aneh sekali kan? Sementara pluralisme itu didukung oleh sepupunya yang bernama liberalisme yang berdalih bahwa setiap orang punya kebebasan masing-masing. Setiap orang berhak melakukan apa pun yang dia mau. Klop sudah!
Pluralisme ini sedikit lebih berkilau dibandingkan dengan liberalisme. Bagaimana tidak? Dia berani mengatakan semua agama adalah benar karena kebenaran itu relatif. Pernyataan yang sangat memukau. Namun sejatinya adalah ibarat mutiara yang masih tersimpan dalam karang hidup. Berkilau dan menarik. Membuat mangsa tertipu lalu mendekat lalu masuk karang lalu tertutuplah! Sempurna! Jebakan yang sangat menipu. Dan itulah. Dengungan pluralisme yang merdu di telinga akan membawa para penganut agama meragukan agamanya sendiri. Dan pada akhirnya pluralisme membabat habis semua agama, bukan hanya Islam.
Dan sampai di sini, saya akan kembali menyinggung soal kehidupan laut yang tak hanya ada ikan hiu dan remora yang menjadi tokoh antagonis dalam postingan ini. Namun masih ada kapal yang akan karam. Lalu kita adalah penumpangnya. Pilihan ada di tangan dan hati kita masing-masing. Mau menjadi siapa di kapal itu?
Cheers ^_^
Dyah Sujiati
Cukup dewasa. Dalam beberapa saat ke depan, penulis ini akan mengeluarkan banyak artikel yang akan mengajak kita tidak saja gemar membaca, kritis dalam berpikir, sekaligus mengasah kepekaan kita dalam rana “ghoswul fikr” yang seringkali menghantan Islam.
Jazakillah