SERUJI.CO.ID – Dua bocah pemegang kupon sembako berlogo “Forum Untukmu Indonesia” (FUI) yang berlambang Merpati Putih di pojok atas kanannya, bernama Rizki Syahputra (10 tahun) dan Mahesa Junaidi (12 tahun) akhirnya tewas usai antrian sembako di Monas, Sabtu, 28 April 2018 lalu.

Anak-anak Islam miskin yang datang bersama ibundanya ke acara rohani agama non Islam itu terbujuk rayu sembako dan transport gratis, meninggal dunia karena terinjak saat berdesak-desakan. Polisi entah kenapa tiba-tiba dua hari lalu menyatakan bahwa kematian bocah itu tidak terkait antrian sembako. Polisi membantah pernyataan Wakil Gubernur Jakarta dan ibu Kandung Rizky, Komariyah, bahwa itu karena antrian makan, setidaknya juga soal sembako.

Suasana sangat panas saat ini, pertama, orang-orang banyak tidak terima sikap panitia yang menolak bertanggungjawab. Kedua, tokoh-tokoh umat Islam melihat acara itu “cross the borderline“. Untuk apa acara rohani non muslim mengajak orang-orang Islam yang miskin di acara mereka? Ketiga, kenapa polisi langsung membuat pernyataan yang terkesan melindungi panitia?

Kemiskinan dan Manipulasi Bantuan

Dalam tahun politik ini, pengumpulan massa dalam skala ribuan dan ratusan ribu, tidak bisa dikategorikan bantuan sosial biasa. Dalam kasus Monas ini, terlebih lagi, Dave Revano Santosa, ketua acaranya, dari jejak digital adalah Jokower (pendukung Jokowi) berat.

Sejak awal rencana panitia, sebagai mana jejak digital mengatakan, memang menyiapkan kupon sembako gratis ratusan ribu kupon. Selain panitia juga mengantongi ijin kegiatan rohani agama tertentu non Islam.

Pengumpulan massa tentu saja sebuah “show of force“. Ke arah mana massa ini mau di “front” kan? ini pertanyaan yang tentunya kita bisa menduga meskipun Jokowi tidak hadir dalam acara itu. Disamping tadi ketua panitia sekali lagi diketahui publik adalah Jokower berat.

Apakah salah mengumpulkan massa? Mengumpulkan massa dalam pertarungan politik adalah perbuatan yang legal secara konstitusi dan mempunyai legitimasi politik yang kuat. Sah-sah saja. Lalu persoalannya dimana?

Persoalannya justru terjadi jika massa yang dikumpulkan adalah rakyat miskin yang diiming-imingi sembako. Ini adalah sebuah eksploitasi kemiskinan. Sebuah kejahatan kemanusian.

Persoalan kedua adalah adanya komitmen pendiri republik ini untuk berwawasan nusantara secar baik. Kelompok-kelompok politik harus mengajak orang orang berkumpul berdasarkan sesuatu yang mereka akan perjuangkan. Sebaliknya, kelompok-kelompok rohani harus mengundang massa rakyat yang sesuai dengan agamanya. Ini adalah sebuah wisdom.

Jangan mengeksploitasi kemiskinan manusia demi tujuan-tujuan politik dan jangan juga mengeksploitasi kemiskinan untuk tujuan agama. Bagaimanapun kemiskinan orang-orang miskin itu adanya, penyantunan atau bantuan sosial harus dilakukan dalam ruang permainan yang tidak menimbulkan ketegangan politik maupun SARA.

Keadilan dan “sharing prosperity”

Menjadi kaya dan miskin bisa terjadi secara alamiah, namun bisa juga secara struktural. Mengira orang-orang miskin perlu disantuni dengan BLL (Bantuan Langsung Lempar), BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan sembako murah adalah kesalahan terbesar penguasa. Jeffry Sach, dalam bukunya “Poverty” mengatakan; memberikan “ikan” bagi orang miskin is ok, tapi memberi “pancing” itu harus yang utama dan simultan dengan beri “ikan” tadi.

Namun, pengertian kebijakan beri “ikan dan pancing” dengan sekaligus ini, dalam teori Sach, bukanlah dimaksudkan untuk kepentingan politik tertentu. BLL dan BLT yang tidak terukur dalam program yang dapat dikontrol dan diukur akan membuat rakyat tetap terjebak dalam kemiskinan yang berkelanjutan.

Apa maksudnya terukur? Bagaimana mengukurnya?

Pertama, mengukurnya haruslah bersifat ideologis. Sifat ideologis ini, dalam Pancasila lebih diarahkan dalam frame sosialisme dan Islamisme. Soekarno dan Hatta memaksudkan Indonesia ini mengarah pada “sama rata dan sama rasa”. Dalam tuntunan ideologis, Indonesia harus memusuhi ketimpangan sosial seperti yang ada saat ini, dimana merujuk Oxfam, saat ini 4 orang terkaya memiliki kekayaan sama dengan 100 juta orang miskin.

Dan Gini Kofisien, sangat tinggi, khususnya dibidang asset (Gini based on Wealth), yang bisa mencapai diatas 0,5. Sangat parah.

Kedua, mengukurnya dari sisi kebijakan. Kebijakan harus membatasi kekayaan orang-orang kaya, khususnya dalam penguasaan asset. Misalnya, pemerintah harus membuat UU Monopoli pemilikan tanah dan semua “Land Banking” swasta diambil alih negara. Tidak boleh swasta memonopoli pemilikan lahan non produktif dalam jangka panjang.

Ketiga, barulah kebijakan bersifat taktikal, dan bantuan langsung. Bantuan dalam level taktikal ini dapat menggunakan instrumen tax dan fiskal, atau menggunakan instrumen perburuhan, seperti memaksa adanya dominasi hubungan kerja penuh waktu, upah layak dan bersifat permanen di perkotaan, ataupun juga instrumen kebijakan lain disektor pedesaan.

Jika “Sharing Prosperity” (membagi kemakmuran) bukan menjadi tujuan, seperti selama ini berlangsung, maka orang orang kaya akan terus semakin kaya dan yang miskin akan terus tergilas (baca laporan Megawati Institute 2017 tentang Oligarki).

Anies dan Kemiskinan Jakarta

Dua bocah Rizky dan Mahesa adalah warga Jakarta. Mereka miskin. Anak-anak yang tergoda dalam antrian panjang sembako yang hanya bernilai voucher Rp50 ribu. Mereka hidup di daerah dengan APBD perkapita terkaya di Indonesia. Tempat jalan-jalan dibangun mewah, tempat gedung gedung seratusan lantai sedang dirancang, tempat mal-mal dan pusat-pusat hiburan dan tempat mayoritas uang bangsa ini beredar.

Namun, sekali lagi mereka tidak ikut dalam kemakmuran yang berkembang.

Anies Baswedan, beberapa waktu lalu, mempunyai keyakinan kuat bahwa Jakarta memiliki tingkat kemiskinan sebesar 30%, jika merujuk garis kemiskinan versi World Bank, bukan BPS, yang hanya merujuk pada garis kemiskinan Rp550 ribu saja.

Anies sudah deklarasi perang melawan kemiskinan. Namun, problem kemiskinan di Jakarta harus diplototi setiap hari. Berbagai kepentingan politik yang coba mengeksploitasi rakyat dengan sembako murah akan terus berkembang di Jakarta. Anies harus adu cepat untuk menyelamatkan rakyat miskin ini.

Rakyat miskin ini lalai diperhatikan rezim penguasa Jakarta lalu, yang pro pengembang. Saat ini harus diselamatkan.

Gerakan penyelamatan orang-orang miskin akan bisa tuntas jika ideologi dan gerakan ideologis Anies-Sandi di Jakarta dilakukan secara radikal. Sekali lagi radikal. Jika tidak, orang-orang miskin akan tetap menjadi korban pembangunan.

Kita tentu sedih dengan kematian Mahesa dan Rizky, anak-anak manis yang harusnya masih sekolah. Kita juga ingin agar panitia Jokower si Dave Revano Santosa bertanggung jawab. Kita juga senang Kapolda meralat pernyataan kepala humasnya, dimana Kapolda tetap minta diusut kasus ini.

Namun, kita tentu ingin segera masalah kemiskinan di Jakarta dapat di atasi dengan radikal. Harus dilenyapkan kemiskinan itu, bukan menyingkirkan orang-orang miskin. Dan juga tentunya kalau bisa ganti Presiden 2019, ada harapan Keadilan Sosial untuk semua rakyat, bukan hanya di Jakarta.

Merdeka!

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama