JAKARTA, SERUJI.CO.ID – Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Center for Indonesian Policy Studies menyoroti fenomena banyaknya ketidaktertarikan pemuda menjadi petani pada saat ini, sehingga perlu adanya kebijakan yang efektif guna mengantisipasinya.
“Banyak anak-anak petani ini yang tidak mau kerja sebagai petani. Mereka enggan berkotor-kotor, dan lebih memilih untuk bekerja menjadi kuli bangunan atau buruh pabrik,” kata Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies, Hizkia Respatiadi, di Jakarta, Rabu (27/12).
Menurut Hizkia, pertumbuhan industrialisasi yang gencar juga membuat para petani kekurangan lahan, dan pada akhirnya akan sulit memproduksi komoditas pangan.
Selain itu, ujarnya, keterbatasan peluang kerja di desa, sistem pengairan yang buruk dan perubahan iklim menjadi beberapa faktor yang menciptakan kondisi sulit di perdesaan.
Ia juga mengingatkan bahwa tidak sedikit penduduk desa yang memutuskan untuk pindah ke kota. Pada 2015, jumlah populasi di perdesaan turun menjadi 46 persen dari 50 persen pada 2010 yang lalu.
Sebelumnya, Kementerian Pertanian “merayu” generasi muda agar semakin banyak yang mau menjadi petani di berbagai daerah sebagai upaya mewujudkan visi pemerintah ingin menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia.
“Fakta terjadi di semua belahan dunia. Jumlah petani muda menurun, dan yang tersisa petani yang sudah berusia tua,” kata Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi, dalam Seminar Hari Pangan Sedunia ke-37, di Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (18/10).
Menurut Agung Hendriadi, penurunan jumlah pemuda petani tersebut adalah karena banyak generasi muda yang bermigrasi dari desa karena tidak tertarik bekerja di lahan pertanian, sehingga beralih ke sektor lainnya.
Ia berpendapat bahwa yang membuat menarik bagi anak muda pada saat ini adalah yang memiliki nilai tambah serta memiliki sentuhan teknologi yang selaras dengan perkembangan era global saat ini.
“Kami akan coba pertanian kita mempunyai margin keuntungan yang tidak kalah kalau kita bekerja di luar pertanian. Jawabannya adalah teknologi, karena banyak anak muda yang tertarik mengembangkan aplikasi,” katanya pula.
Agung menuturkan bahwa aspek teknologi yang akan meningkatkan melesat margin keuntungan tersebut, karena dengan teknologi bakal dapat memproduksi hasil maksimal dengan tenaga yang relatif kecil.