Belajar dari kasus itu, dia mengimbau kepada semua pihak yang melihat adanya dugaan kasus kekerasan terhadap anak dapat melaporkan kepada pihak kepolisian melalui Babin Kamtibmas yaitu perwakilan polisi di masing-masing kelurahan dan atau kepolisian terdekat dengan memberi tahu RT setempat.
Menurut dia, kekerasan di dalam rumah terlihat seperti urusan pribadi seseorang. Namun prinsipnya masyarakat dapat memberikan laporan kepolisian yang saat ini memiliki Unit Perempuan dan Anak.
“Pihak sekolah ananda G sebenarnya sudah menanyakan luka-luka yang ada di tubuh ananda G tapi ibu lebih banyak menghindar. KPAI berharap sekolah sebagai rumah kedua anak dan masyarakat sebagai fungsi kontrol perlindungan anak dapat melaporkan kepada pihak berwajib jika ada dugaan tindak kekerasan,” kata dia.
Melihat kondisi psikologis pelaku, Rita mengatakan KPAI mendorong pemerintah untuk terus mensosialisasikan lembaga-lembaga yang dapat membantu mencari jalan keluar dari persoalan anggota masyarakat khususnya persoalan anak, perempuan dan keluarga misalnya P2TP2A, di RPTRA, LK3 dan lainnya.
Masyarakat, kata dia, juga perlu mengetahui ke mana masyarakat dapat berkonsultasi dan atau meminta bantuan terkait persoalan pribadinya. Selain itu, masyarakat dapat pula mengajak anggota masyarakat yang dianggap rentan ke tempat-tempat yang dapat membantu menyelesaikan masalah tersebut.
“Pada kasus ini, ibu N adalah ‘single parent’ (mengasuh sendiri) dan sangat membutuhkan dukungan dari orang-orang yang ada di sekelilingnya untuk terus bertahan tetapi tidak tahu harus ke mana. Pelaku menyatakan sangat menyesal dengan perbuatannya. Dia menyampaikan pesan kepada semua orang tua untuk tidak melakukan kekerasan terhadap anak dan melampiaskan kekesalan kepada anak. Penyesalan hanya hadir di belakang,” kata dia. (Ant/SU02)