Pembuat Telegram, Pavel Durov, layak bertanya apa dosa Telegram. Di dunia datar istilah Thomas Friedman, dalam memposisikan dunia online, era digital, langkah menutup, menghambat, sebuah aplikasi dalam bahasa saya laku menggergaji angin.
Ubah website.
Ubah proxy
Bisa diakali.
Dan on.
Dan atau kalau mau alternatif kini ada aplikasi Signal, tak kalah kekar dari Telegram.
Dalam sebuah rapat kabinet, Presiden Jokowi mengambil sikap berdasarkan opini di Sosial Media. Hal itu diungkap oleh mantan Menterinya kepada saya.
Ketika membunyikan Bapak Jokowi sejak masih di Solo, saya mengandalkan Sosmed. Para relawannya pun demikian. Hal ini tak perlu dibantah.
Kita punya Badan Ekonomi Kreatif, Bekraf. Walaupun saya menyarankan dibuat dulu Venture Capital Riil, sebagai mesin sebelum Bekrafnya, tidak terjadi. Minimal kehadiran Bekraf, bentuk pengakuan akan adanya new economy, segala kreatifitas, inovasi, dari intangible diproses menjadi tangible merupakan mashab Bekraf.
Telegram output ranah Bekraf.
Penutupan Telegram selain mengingkari Bekraf, sulit dihindari sebagai kebijakan gagap dan sia-sia: gergaji angin, sesuai istilah saya tadi.
Lantas apa persoalan?
Jernih.
Kekuasaan harus dipertahankan. Melanjutkan kekuasaan sudah dirintis dari tahun lalu. Mulai rencana membagikan 12 juta hektar lahan masing-masing untuk 2 hektar ke setiap KK.
Seorang pengusaha sudah mengajak Menteri Pertanahan ke luar negeri melihat penanaman Alga diproses jadi solar. Petani disiapkan tanam Alga, konon bisa berpendapatan Rp 60 juta sebulan. Kawan pengusaha itu, pernah saya bantah bahwa teori Alga itu tidak teruji. Dunia sudah berbahan bakar ke hidrogen, listrik. Asian Games di Palembang 2018, di kawasan Jakabaring, kendaraan mobil hidrogen dioperasikan.
Menghimpun kapital dengan beragam cara.
Ekspor barang mineral di ranah terindikasi abu-abu Nikel Ore, hingga rampok pulsa data di operator terindikasi lebih Rp 2 triliun sebulan.
Di infratruktur Pemilu, kuasai IT dan tempatkan orang bagian legal di genggaman kekuasaan. Panjang kata untuk diteruskan.
Bagi mereka di dunia politik laku ini bisa sah saja. Kekuasaan itu mesti direbut. Merebutnya bisa dengan segala cara. Saya punya istilah, kita di ranah oligarki fulus mulus. Dalam kerangka fulus ini, uang berguna antara lain bisa memuluskan presidential threshold 20-25% sehingga incombent moncer.
Namun ada satu faktor utama sulit diperjuangkan dalam merebut kekuasaaan. Yakni faktor psikologi massa.
Jika warga sudah merasa ditinggalkan, perasaan nurani terdalamnya disakiti, dikibuli, seketika itu juga penguasa merasa kredibel menjadi underdog. Bayangkan poling jika Presiden Jokowi berhadapan dengan kotak kosong, maka lebih 90% suara warga memilih kotak kosong.
Dalam keadaan demikian timbul pula Perpu Ormas, indikasi defisit anggaran belanja negara sudah di atas 3%. Paripurna rasanya bahwa kekuasaan sejatinya kalap.
Dari belajar sejarah kekuasaan, bila saya tak keliru umur kekuasaan yang demikian ini bisa tidak lama lagi. Hanya orang di sekitar kekuasaan saja bertambah panik dan kian menggergaji angin ke sana ke mari. Tinggal menunggu puting beliung alam saja mematahkan gergaji besi mereka; ruh nurani kerakyatan kian diingkari termasuk nurani para kreator, seperti pembuat Telegram.