Natalius Pigai

Kenyataannya, kita lihat pemimpin amatiran muncul dari pulau Jawa dan akan terus muncul jika sistem demokrasi tidak disesuaikan dengan kondisi kekinian bangsa Indonesia.

Presiden Jawa yang terbaik hanya Ir. Sukarno dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sedangkan Suharto alumni SMP di Godean Yogya bernalar otoriter. Sementara Megawati, Gusdur orang hebat di tempat yang tidak tepat (Rightman on the bed place).

Juga Joko Widodo, Presiden dari Jawa muncul hanya sebagai pemimpin yang melakukan eksprimen atau coba-coba untuk menjadi pemimpin karena didorong mayoritas suara. Maka negara dikelola secara amatiran dan negara cendrung menjadi amatiran, kata Yusril.

Monopoli kekuasan oleh suku bangsa Jawa akan menjadi benih perpecahan. Pengusiran besar-besaran terhadap orang Jawa di Aceh, peristiwa Sampit, Sambas, Armopa di Papua telah memberi signal bahwa ancaman terhadap suku bangsa Jawa itu akan ada pada masa yang akan datang.

Faktor kepemimpinan nasional menjadi problem penentu integrasi nasional. Berbagai persoalan yang muncul di bangsa kita ini hanya karena Presiden tidak mampu mengelola politik dan pemerintahan secara baik dan benar. Mungkin bangunan sosial baik vertikal antar suku, agama, ras dan antar golongan ikut hancur. Selain itu adanya hegemoni negara secara wewenang-wenang menekan rakyat, sementara rakyat apatis pada negara dan negara kian kehilangan wibawa dihadapan rakyat.

Problem hak asasi manusia adalah faktor terpenting yang mengancam keutuhan NKRI atau Indonesia bubar 2030, bahkan sebelumnya. Tesis ini paling mungkin karena hari ini kita berada di era milenium kemanusiaan (human right milenium) dimana pilar demokrasi, hak asasi manusia, dan perdamaian menjadi pilar penting.

Siapa yang bilang kalau Jokowi tidak memiliki catatan kelam atau catatan buram sebagai seorang yang dapat diindikasikan sebagai pelaku pelanggar HAM berat selama 4 tahun kepemimpinan, jika dilakukan penyelidikan secara profesional dan imparsial?

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama