SP diterbitkan dengan alasan pelanggaran Perda Ketertiban Umum. Namun, tindakan faktual atau tindakan di lapangan berbeda. Setelah SP 3 terbit satu minggu kemudian pada tanggal 28 September 2016 Pemkot Jakarta Selatan mengeksekusi dan menggusur warga Bukit Duri.
Setelah penggusuran selesai dilakukan pada tanggal 3 Oktober 2016, Pemkot Jakarta Selatan menggunakan tanah-tanah warga untuk proyek normalisasi tanpa disertai penggantian yang layak.
Tindakan Pemkot Jakarta Selatan ini jelas melanggar prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik (“good governance”) dan UU Administrasi Pemerintahan. UU Administrasi Pemerintah mewajibkan seluruh pejabat pemerintah untuk melakukan keputusan hukum harus sesuai dengan tindakan faktual dan tindakan hukum.
Normalisasi Ciliwung Majelis Hakim tidak melihat dan mempertimbangkan pengakuan Pemkot Jakarta Selatan mengenai SP 1, 2, dan 3 diterbitkan untuk Normalisasi Kali Ciliwung. Program ini diakui sebagai program pembangunan kepentingan untuk umum.
Akan tetapi, Pemkot Jakarta Selatan menolak fakta hukum dan mengingkari tanggung jawab hukum yang timbul berdasarkan UU Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (UU No. 2/2012), Perpres No. 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dan UUPA (UU Agraria Pasal 18).
Majelis Hakim menyetujui keberatan Pemkot Jakarta Selatan dengan mengatakan bahwa “para Penggugat/Terbanding ternyata tidak ada bukti berupa Sertifikat Hak Milik atas nama Para Penggugat/Terbanding dan karena Rumah/Bangunan berdiri di bantaran Kali Ciliwung. Menurut Majelis Hakim Banding sudah tepat dilakukan penertiban”.