Adil dan Beradab
Mempertentangkan syariat Islam dengan Pancasila adalah ahistoris dan tidak logis. Apalagi, faktanya, syariat Islam memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Muslim Indonesia, mulai dari aspek pribadi sampai kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang menolak syariat pun, ketika kawin dan mati, ‘nurut saja’ ketika dikawinkan dan dikubur dengan cara syariat Islam.
Mempertentangkan syariat Islam dengan Pancasila adalah ahistoris dan tidak logis. Apalagi, faktanya, syariat Islam memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Muslim Indonesia.
Hingga kini, Kementerian Agama masih mengatur pelaksanaan beberapa aspek syariat Islam. Begitu juga Bank Indonesia telah menjadikan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) sebagai panduan pengaturan perbankan syariah di Indonesia.
Berbagai aspek syariat pun kini sudah diatur dalam UU – seperti UU Zakat, UU Haji, UU Perkawinan, dan sebagainya.
Yang perlu dicatat, umat Islam memiliki keunikan dalam soal pelaksanaan hukum-hukum agamanya. Islam tidak punya tradisi berpikir sekuler seperti di Barat.
Prof. Bernard Lewis, dalam bukunya ‘What Went Wrong?’ menjelaskan masalah ini: “The reason why Muslims developed no secularist movement of their own, and reacted sharply against attempts to introduce one from abroad, will thus be clear from the contrasts between Christian and Muslim History and experience.
From the beginning, Christians were taught both by precept and practice to distinguish between God and Caesar and between the different duties owed to each of the two. Muslims received no such instruction.”
Kasus larangan pemakaian jilbab di sejumlah ruang publik di Turki dan Indonesia menjadi contoh kegagalan penolakan syariat atas kaum muslim. Maka, yang sepatutnya dilakukan bukan menolak syariat, tetapi merumuskan dan mengaktualkan pelaksanaan syariat Islam dalam konteks keindonesiaan, secara adil dan beradab.
Itulah makna penting dari rumusan KH Hasyim Asy’ari, bahwa “tanpa adab, maka tiada syariat” (faman lā ādaba lahū, lā syarī’ata lahū…).
Dalam rumusan Ibnu Hajar al-Asqalany, adab adalah “isti’mālu mā yuhmadu qawlan wa fi’lan” (Melaksanakan segala perkataan dan perbuatan yang terpuji).
Yang sepatutnya dilakukan bukan menolak syariat, tetapi merumuskan dan mengaktualkan pelaksanaan syariat Islam dalam konteks keindonesiaan, secara adil dan beradab.
Juga, kata Ibnu Hajar, sebagian ulama menyatakan, bahwa adab adalah penerapan akhlak mulia (al-akhdzu bi-makārimil akhlāqi). (Lihat, disertasi Doktor Pendidikan Islam dari Syarif Hidayat, berjudul Konsep Pendidikan Berbasis Adab Ahmad Hassan, di Program Pasca Sarjana UIKA Bogor, 2018).
Perintah agar orang Muslim berlaku adil dan beradab sangat melimpah dalam Al-Quran dan Hadits. Dan memang, aspek terpenting dari pelaksanaan syariat adalah kualitas menusianya. Hanya manusia-manusia yang adil dan beradab (berakhlak mulia), yang akan mampu menjalankan syariat dengan baik dan menampilkan keindahan syariat Islam.
Di tangan manusia yang zalim dan hilang adab (biadab), syariat akan dipermainkan. Atau, minimal, ia tidak akan bisa menerapkan syariat dengan kadar dan cara yang tepat.
Karena itulah, dalam Konferensi Internasional Pendidikan Islam Pertama di Kota Mekkah, tahun 1977, salah satu gagasan penting yang dihasilkan adalah bahwa: “the central crisis of muslim today is loss of adab”.
Gagasan itu disampaikan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas – cucu Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas atau Habib Kramat Empang Bogor – yang juga menjadi editor kumpulan makalah seminar tersebut. Loss of adab, kata al-Attas, adalah “loss of discipline – the discipline of body, mind, and soul.” (Lebih jauh, lihat, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979).
Aspek-aspek keadilan, kejujuran, kebersihan, kemanusiaan, keindahan, kedisiplinan, kerja keras, dan sebagainya, itulah yang tercakup dalam aspek adab dan akhlak.
Harusnya, kaum muslim, dan negeri muslim, menjadi teladan dalam penerapan nilai-nilai universal tersebut. Sebab, Nabi Muhammad SAW memang diutus untuk menyempurnakan akhlak.
Harusnya, Indonesia – sebagai negeri Muslim terbesar di dunia – menjadi contoh dalam penerapan kedisiplinan, kebersihan, kejujuran, kerja keras, dan sebagainya. Inilah agenda besar umat Islam Indonesia.
Tetapi, upaya untuk mewujudkan ruang publik yang manusiawi itu tidak harus dilakukan dengan sikap “anti-syariat.” Sebab, syariat itu ketentuan Tuhan.
Orang Muslim pasti yakin, Tuhan tidak menurunkan syariat-Nya untuk mencelakai manusia. Yang diperlukan, menurut al-Attas, adalah “tathbiq asy-syariah fii maqaamil ihsan”; menerapkan syariah dalam “maqam ihsan.”
Saat syariat diterapkan, maka yang perlu kita tanyakan adalah: siapa polisinya, siapa jaksanya, siapa hakimnya, siapa pengacaranya, dan juga orang macam apa yang berperkara dengan syariat tersebut.
Jangan syariat hanya jadi jargon politik. Syariat perlu keteladanan, keikhlasan dan kesungguhan dalam perumusan dan penerapannya. Di tangan orang yang tidak beradab dan serakah dunia, syariat bisa diperjualbelikan untuk kepentingan duniawi.
Karena itulah, menurut hemat saya, agenda utama dan mendesak umat Islam Indonesia saat ini adalah mencetak manusia-manusia yang adil dan beradab, manusia yang berakhlak mulia.
Inilah yang diamanahkan oleh UUD 1945 pasal 31 (c), bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Di negara yang adil dan beradab, syariat dan nilai-nilai kemanusiaan universal bisa diletakkan pada tempatnya secara proporsional (adil). Tidak perlu keduanya dipertentangkan.
Nilai-nilai kemanusiaan tidak boleh dibiarkan menjadi liar sampai melanggar syariat. Jangan sampai, misalnya, nilai-nilai kasih sayang pada sesama manusia diwujudkan dengan pembenaran dan legalisasi seks bebas serta perkawinan sesama jenis.
Akhirulkalam, apa pun bentuk negaranya, para pemimpin dan rakyatnya tetaplah manusia; hamba Allah dan khalifah-Nya di muka bumi. Sudah sepatutnya, jika loyalitas tertinggi mereka diberikan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jangan seperti Iblis. Percaya kepada Tuhan, tetapi membangkang dan sombong! Wallahu A’lam. *
Sukabumi, 31 Desember 2018.
Biodata Penulis:
*Adian Husaini adalah pendiri Pesantren at-Taqwa, Cilodong, Depok, Jawa Barat, dan Ketua Program Doktor Pendidikan Islam di Universitas Ibn Khaldun, Bogor. Lahir pada 17 Desember 1965, ia lulus S-1 Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (1989), S-2 Hubungan International Universitas Jayabaya (2001), dan meraih Ph.D. dalam Islamic Civilization di International Institute of Islamic Thought and Civilization– Internasional Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM).
Pendidikan keislamannya cukup lengkap, seperti di Madrasah Diniyah Nurul Ilmi Padangan Bojonegoro (1971-1977), Pesantren al-Rosyid Kendal Bojonegoro (1981-1984), Pesantren Ulil Albab Bogor (1988-1989), pendidikan bahasa Arab di LIPIA Jakarta (1989), dan lain-lain.
Adian pernah menjabat Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (2005-2010), Pengurus Komisi Kerukunan Umat Beragama MUI Pusat (2000-2010), dan Pengurus Majlis Tabligh dan Lembaga Dakwah Khusus PP Muhammadiyah (2005-2010). Ia juga pernah berprofesi sebagai wartawan Harian Berita Buana (1990-1993) dan Harian Republika (1993-1997).
Adian sudah menulis sekitar 20 buku.