Belakangan para pengusung Piagam Jakarta berpandangan bahwa menghidupkan Piagam Jakarta adalah cita-cita politik yang paling masuk akal ketimbang cita-cita mendirikan khilafah, Pan-islamisme, dan lain-lain.
Jika dahulu tujuh kata dalam Piagam Jakarta terhapus karena pertimbangan politik, maka boleh saja dengan alasan pertimbangan politik pula Piagam Jakarta dikembalikan ke pangkuan ibu pertiwi.
Namun, karena khawatir ada trauma politik masa lalu, beberapa kelompok yang mengusung pengembalian Piagam Jakarta bergerak dengan formula baru; tak lagi menggunakan istilah Piagam Jakarta melainkan NKRI Bersyariah.
Jika asumsi itu benar, maka NKRI Bersyariah itu sesungguhnya merupakan ide lama tapi dengan kemasan baru. Asumsi ini benar jika kita mendengarkan sejumlah ceramah Muhammad Rizieq Shihab yang menyatakan pentingnya kembali pada Piagam Jakarta dan betapa ruginya jika kita bertumpu pada Pancasila 1 Juni 1945 versi Bung Karno.
Terlepas dari itu, sekiranya kelompok yang hendak menghidupkan Piagam Jakarta itu berpikir lebih teliti dan realitis, mereka tak akan memandang penting kembali secara verbatim pada Piagam Jakarta. Sebab, sekalipun Piagam Jakarta tak dihidupkan secara harfiah, secara politik terlampau banyak produk perundang-undangan yang telah memberikan privilese kepada umat Islam.
Ada UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Zakat, UU Wakaf, UU Haji, dan lain-lain. Pendeknya, dari lima rukun Islam yang ada hanya shalat dan puasa Ramadan saja yang tak atau belum dijadikan UU.
Namun, jika yang dimaksudkan dengan pelaksanaan syariat lebih dari itu; misalnya hendak menerapkan hudud di Indonesia, maka saya menduga keras bahwa gagasan NKRI Bersyariah itu akan layu sebelum berkembang. Dari empat puluhan negara Islam di dunia, mayoritas tak menerapkan hukum hudud secara kaffah. Indonesia adalah satu dari beberapa negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam tapi tak menerapkan hukum hudud itu.
NU dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam terbesar pun tak pernah mengajukan klausul agar Indonesia menerapkan hukum pidana Islam.
Sebaliknya, jika yang dimaksud dengan syariat itu adalah syariat Islam universal seperti keadilan (al-‘adl), toleransi (al-tasamuh), kesetaraan (al-musawah), kemanusiaan (al-insaniyah), dan lain-lain, maka betapa banyaknya produk undang-undang yang telah mengadaptasikan nilai-nilai tersebut sejak dalam Undang-Undang Dasar hingga sederet undang-undang di bawahnya.
Syariat Islam universal itulah yang kini diperjuangkan ormas Islam seperti NU untuk bisa masuk ke dalam batang tubuh undang-undang. NU tak lagi memperjuangkan syariat partikular menjadi bagian dari undang-undang.
Sejauh menyangkut syariah partikular, almarhum KH MA Sahal Mahfudz (rais am PBNU) pernah berkata bahwa fikih Islam cukup menjadi etika sosial saja, dan tak perlu menjadi hukum positif negara.
Singkatnya, NU bukan hanya move on dari Piagam Jakarta, melainkan juga menarik diri dari perjuangan formalisasi syariat (partikular) Islam.
Karena itu jangan kaget ketika kita menjumpai tokoh-tokoh NU, baik di pusat maupun di daerah, tidak antusias memperjuangkan formalisasi syariat Islam, persisnya formalisasi fikih Islam.
Bahkan, KH Abdurrahman Wahid adalah salah satu tokoh NU yang paling lantang menyatakan penolakannya terhadap gerakan formalisasi syariat Islam.
Bagi Gus Dur, produk undang-undang tak boleh bersifat sektarian-primordial. Sebuah undang-undang, apalagi undang-undang dasar, meminjam bahasa Denny JA, haruslah ikut menciptakan terwujudnya ruang publik yang manusiawi.
Ke sanalah kiranya gerakan NKRI Bersyariah itu diarahkan. Wallahu A’lam bis Shawab.
*Abdul Moqsith Ghazali adalah Dosen Tetap Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PB Nahdlatul Ulama, dan Wakil Sekretaris Komisi Kerukunan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.