Pertanyaannya, dari mana energi Islam politik mereka itu diperoleh?
Jawabannya, tak lain kecuali dari cita-cita dan ghirah ingin menerapkan syariat Islam secara kaffah. Dan bagi mereka, penerapan syariat Islam di Indonesia belum kaffah karena dasar negara dan konstitusinya tak disandarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah.
Tak sedikit dari kelompok Islam politik, misalnya, yang menolak Pancasila edisi revisi 18 Agustus 1945, karena mereka ingin menegakkan Pancasila 22 Agustus 1945 yang dikenal dengan Piagam Jakarta.
Saat itu Piagam Jakarta memang disusun sebagai kompromi politik, terutama terhadap kelompok Islam politik. Ia dihasilkan oleh panitia kecil dalam BPUPKI yang diketuai Soekarno dan ditandatangani sembilan anggota utama, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, A.A Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar Moezakir, Agus Salim, Achmad Subardjo, KH Wahid Hasjim, dan Mohammad Yamin.
Dalam sidang-sidang panitia kecil ini sudah disepakati bahwa Pancasila adalah dasar negara. Hanya beda dengan susunan Pancasila yang dirumuskan para tokoh bangsa seperti Soekarno, Mohammad Yamin, Soepomo, dan lain-lain. Maka Pancasila 22 Agustus 45 ini berhasil menambahkan anak kalimat: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada sila pertama Pancasila, Ketuhanan.
Bagi umat Islam yang mendukungnya, sebagaimana dikemukakan M. Syafii Maarif (1996: 110), anak kalimat itu sangat penting, sebab dengan itu tugas pelaksanaan syariat Islam secara konstitusional terbuka pada waktu yang akan datang.
Namun, alih-alih bisa melaksanakan syariat Islam secara konstitusional, tepat satu hari setelah proklamasi kemerdekaan RI (18 Agustus 19455), anak kalimat “… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” disepakati untuk dihapuskan. Dan gantinya adalah, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dengan tambahan, “Yang Maha Esa” itu wakil-wakil Islam pada mulanya tak keberatan. Mungkin bagi mereka, tiga suku kata “‘Yang Maha Esa” sudah cukup untuk menggantikan tujuh kata yang dihapus itu. KH Wahid Hasjim –seperti dikutip Deliar Noer (1987: 41)– meyakini bahwa penambahan sifat monoteistik (Yang Maha Esa) dalam Pancasila itu merupakan cerminan atau sedikitnya sejalan dengan prinsip Tauhid dalam Islam.
Mohammad Hatta pun tak keberatan dengan revisi Pancasila itu. Bahkan, seperti dikutip Bahtiar Effendy (1998: 91), sebagai seorang muslim ortodoks sekaligus anak seorang ulama, reformulasi itu bisa dijadikan jalan Mohammad Hatta untuk meloloskan diri dari kewajiban mendukung negara Islam.
Akhirnya tercatat, sejak 18 Agustus 1945 sepintas bangsa Indonesia tampak bisa hidup tenang dengan Pancasila hasil revisi itu. Dengan bangga Menteri Agama RI Alamsyah Ratu Perwiranegara (1978) era Orde Baru menyatakan bahwa rumusan Pancasila 18 Agustus 1945 itu merupakan hadiah umat Islam kepada bangsa dan kemerdekaan Indonesia, demi menjaga persatuan Indonesia.
Karena itu, demikian Alamsyah, loyalitas umat Islam kepada Pancasila tak perlu diragukan lagi.
Berbagai tuduhan yang dialamatkan kepada umat Islam sebagai anti-Pancasila adalah tidak benar. Sebab, tokoh-tokoh Islam adalah perumus dan penyokong utama Pancasila.
Namun, apa yang dikatakan Alamsyah itu tak sepenuhnya sesuai kenyataan. Masih ada api dalam sekam. Tak sedikit tokoh Islam yang berpendirian bahwa penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta sebagai cermin kekalahan umat Islam.
Lebih jauh Isa Anshary, sebagaimana dikutip Adnan Buyung Nasution (1992: 106), mengatakan bahwa peristiwa 18 Agustus 1945 itu sebagai “suatu penipuan yang dilakukan terhadap umat Islam.” Alih-alih meralat, sepuluh tahun kemudian Isa Anshary masih menggambarkan peristiwa itu “sebagai suatu permainan sulap yang masih diliputi kabut rahasia…. suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.”
Sudah menjadi takdir sejarah, perjuangan mengembalikan Piagam Jakarta terus mengalami regenerasi. Patah tumbuh hilang berganti. Kelompok yang merindukan kembalinya Piagam Jakarta tak berhasil dilumpuhkan hingga ke serat-serat terkecilnya.