Penyebab pertama menurunnya dukungan atas Pancasila adalah isu ketimpangan ekonomi. Warga dari wong cilik hidup dalam situasi jarak ketimpangan semakin tinggi.
Data BPS dari pemerintah soal kooefisien Gini menunjukkan hal itu. Di tahun 2007, koofisien Gini masih di angka 0,35 persen. Tapi angka itu terus menaik hingga 0, 41 persen di tahun 2011-2015.
Koofisien Gini sebuah metode untuk mengukur kesenjangan ekonomi masyarakat. Semakin tinggi koefisien Gini, semakin timpang masyarakat itu. Sebuah berita baik di tahun 2017, BPS menunjukkan data Koofisien Gini mulai menurun ke angka 0,39 persen.
Ketimpangan yang semakin melebar sangat rentan dengan isu keadilan. Rentan pula mereka dibujuk untuk meyakini bentuk perjuangan lain yang lebih menjamin keadilan.
Ada variabel ketidak puasan ekonomi, dan isu keadilan sosial yang dialami oleh mereka yang meninggalkan Pancasila.
Penyebab kedua bersemai paham lain di luar Pancasila. Beragam warna dan spektrum politik yang datang sebagai alternatif, dari yang kiri hingga kanan. Bagi warga yang inginkan keadilan sosial, paham alternatif yang populis akan sangat membujuk.
Yang lebih banyak terambil hari ternyata dari warga bergama Islam. Paham alternatif yang datag lebih bernuansa agama.
Terdapat variabel tumbuhnya paham lain di luar Pancasila yang populis, bernuansa keadilan sosial dan kuat daya tarik agamanya.
Penyebab ketiga, terjadi sesuatu pada Pancasila itu sendiri. Zaman sudah sedemikian berubah. Pancasila tak lagi disosialisasikan dengan spirit zaman baru, era milenial, yang tak lagi pas dengan kebijakan Top-Down.
Ini era Bottom-Up, dari masyarakat untuk masyarakat. Turunnya dukungan atas Pancasila itu diakibatkan pula oleh sebut saja melemahnya “marketing Pancasila.” Semakin jarang terdengar di ruang publik para juru bicara paham Pancasila yang tak hanya cemerlang tapi relevan dengan zamannya.
Dibandingkan ideologi militan lain, Pancasila kalah dari sisi sosialisasi.