Apa yang terjadi jika Pancasila kehilangan kekuatan simboliknya sebagai perekat keragaman bangsa? Apa yang terjadi jika Pancasila memudar selaku identitas nasional?
Lingkaran Survei Indonesia (LSI Denny JA) menememukan data yang kecut itu. Sejak tahun 2005, lalu 2010, 2015 hingga 2018, warga pro Pancasila terus menurun dari 85,2 persen menuju 75.3 persen. Selama 13 tahun terakhir, dukungan warga kepada Pancasila menurun sekitar 10 persen.
Di sisi lain, di era yang sama, pendukung NKRI bersyariah naik 9 persen. Publik yang pro NKRI bersyariah tumbuh dari 4, 6% (2005) menjadi 13,2% (2018), 13 tahun kemudian.
Pada level ini, Pancasila masih mayoritas, masih menjadi perekat bangsa, masih menjadi identitas nasional. Tapi jika trend menurun itu tak dihentikan secara sistematis, purposif dan massif, bisa jadi dari dukungan 75%, dukungan atas Pancasila menjadi 65%, 55% dan akhirnya malah minoritas.
Jika ini terjadi, yang dipertaruhkan tak hanya nasib Pancasila. Tapi yang beresiko adalah bangunan negara Indonesia sendiri. Apakah teritori provinsi Aceh yang mayoritasnya Muslim dan Bali yang mayoritasnya Hindu dan Papua yang mayoritasnya Kristen masih bisa bersama dalam bendera merah putih?
Sebelum too late and too little, dari sekarang perlu dibuatkan counter culturenya. Trend Pancasila harus dibalik kembali. Bagaimana cara membalik trend itu?
Kita pahami dulu variabel penyebab menurunnya Pancasila. Dalam survei LSI, ditemukan 3 variabel yang saling jalin menjalin.
Ketika data dibedah, penurunan dukungan atas Pancasila banyak terjadi di kalangan masyarakat penghasilan rendah, warga beragama Islam, namun di semua level pendidikan.