MENU

GOLPUT: Halal Versus Haram, dan Gerakan Ayo Memilih

Oleh: Denny JA, Konsultan Politik dan Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI)

SERUJI.CO.ID – Ada kesamaan pandangan di kalangan ahli ilmu politik, ujar Adam Bonica dari Stanford University. Semakin besar partisipasi politik, semakin banyak pemilih datang ke TPS, semakin kecil angka Golput, demokrasi di negara itu akan semakin baik.

Salah satu penyebabnya karena semakin banyak suara warga negara yang terekam dalam pemilu. Hasil pemilu semakin menggambarkan aspirasi, harapan, kekhawatiran dan mimpi mereka. Pemilu semakin menjadi cermin yang akurat memantulkan the heart and the mind dari warga negara.

Tapi di tahun 1996 dalam Pemilu Presiden Amerika Serikat, voter turnout, jumlah pemilih yang datang ke TPS termasuk yang terkecil dalam sejarah pemilu presiden modern. Ketika Clinton versus Bob Dole, hanya 49 persen pemilih yang datang ke TPS.

Golput dalam pilpres AS tahun 1996 sebanyak 51 persen. Lebih dari separuh warga AS yang punya hak pilih bersikap tidak memilih.

Berdasarkan perhitungan matematis hasil pemilu presiden menjadi ironi. Bill Clinton menang dengan memperoleh 49,2 persen suara. Bob Dole 40,7 suara. Sisanya Ross Perot sekitar 8,1 persen.

Kita hitung saja yang memilih Clinton dikali yang datang. Yang memilih Bill Clinton sama dengan 49,2 persen dikali 49 persen. Totalnya hanya sekitar 24 persen saja dari total warga negara Amerika Serikat.

Itu sama dengan mengatakan Bill Clinton terpilih menjadi presiden, TAPI 76 persen warga Amerika Serikat tidak memilihnya!

Apa yang terjadi dengan negara demokrasi di Amerika Serikat? Akan kuatkah posisi presiden dalam dukungan pemilih jika sebenarnya hanya 24 persen populasi yang memilihnya.

Semua ironi ini berujung karena satu hal penting: tingginya angka Golput.

Golput pun menjadi isu

Di Indonesia Golput Jadi Isu Besar Karena Naik Setiap Pemilu

Kandidat Pilpres 2019: Jokowi-KH Ma’ruf Amin dan Prabowo SUbianto-Sandiaga Uno.

Di Indonesia, Golput pun pada waktunya akan menjadi isu besar. Sampai hari ini, golput dalam pemilu presiden terus meningkat. Pilpres tahun 2004, Golput sebesar 23.3 persen. Pilpres 2009, Golput menaik lagi menjadi 27.45persen. Pilpres 2014, Golput menaik lagi menjadi 30,42 persen.

Memang angka Golput dalam pilpres Indonesia belum sebanyak Pilpres Amerika Serikat yang rata rata sekitar 45 persen. Namun trend Golput yang menaik itu membuka kemungkinan.

MUI mengambil inisiatif membuat fatwa mengharamkan Golput. Itu hasil Ijtimak Ulama di Padang Panjang, Sumatra Barat, tahun 2014. Karena belum dicabut, fatwa terus berlaku. Pemikiran yang mendasari fatwa semata kepentingan bangsa agar semakin banyak warga menentukan pemimpinnya.

Tak ada yang salah dengan fatwa ulama dalam negara demoktasi modern. Tapi fatwa itu hanya semacam opini. Tak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Banyakkah yang akan terpengaruh untuk tidak Golput?

Ada pula jalan berbeda yang ditempuh. Negara demokrasi lain bertindak jauh lagi. Belgia sebagai misal, bahkan menjadikan voting ke TPS sebagai kewajiban.

Yang tidak datang ke TPS, tanpa alasan yang dapat diterima seperti sakit, akan terkena hukuman. Akibatnya, Golput di Belgia sangat kecil antara 5 persen- 15 persen saja.

Tak hanya Belgia. Negara lain juga banyak yang menjadikan voting ke TPS sebagai kewajiban, seperti Belanda, Australia, Argentina, Venezuela. Juga Queensland di kanada.

Hukum di Indonesia tidak mewajibkan warga untuk ke TPS. Tak ada hukuman bagi Golput. Tak ada pilihan lain, untuk meningkatkan partisipasi publik datang ke TPS, kampanye anti golput itu yang perlu digiatkan.

Gerakan Anti Golput di Pemilu 2019

anti golput (ilustrasi)

Di tahun 2019, kita mencatat ikhtiar gerakan anti Golput yang unik di Indonesia. Promotornya Jeune and Raccord Communication. Tiga anak muda memulai gerakan ini: Monica JR, Riries Puri, Arie Prijono.

Mereka membuat gerakan golput khusus untuk generasi milenial. Yaitu pemilih pemula 17 tahun hingga 39 tahun. Jumlah pemilih usia ini cukup besar. Berdasarkan survei LSI Denny JA, jumlah pemilih usia milenial sebanyak 44,7 persen.

Mereka membuat gerakan yang diberi nama “Ayo Memilih” dalam empat kegiatan. Ada lomba menciptakan lagu tapi lirik lagu sudah ditetapkan. Ada kampanye media sosial dan pemutaran lagu itu melalui radia. Ada survei khusus bagi golput di kalangan milenial. Dan ada aksi panggung, hiburan dan flashmob dalam car free day.

Tak terduga. Dalam waktu sebulan lebih, terkumpul lebih dari 500 video lagu. Peserta memang tak hanya mengirimkan lagu. Mereka juga memvideokannya.

Setelah terpilih satu pemenang, panitia membuat video resmi. Lagu itu dinyanyikan oleh artis nasional. Video direkam dengan gaya mileneal. Irama menyentak. Tak lupa pula flash mob muncul di video. Pesannya cukup mengajak.

Panitia bekerja sama dengan Radio Prambors dan jaringan. Lagu itu akan diputar setiap hari selama 10 hari terakhir. Akan ada blast masif di medsos.

Belum kita tahu seberapa besar efek gerakan anti golput itu bagi segmen yang disasar. Tapi ini gerakan yang unik, memberi warna khusus pemili presiden. Karena latar belakang Jeune and Raccord ini marketing, mereka jitu melakukan diferensiansi gerakan.

Apalagi kita menyetujui paham dasar gerakan ini. Politik terlalu penting untuk diabaikan kaum milineal. Lima menit di kotak suara tentukan lima tahun nasib bangsa. Bahkan satu suara, nasib bangsa bisa berbeda.

Dengan senang hati, saya ikut membantu menyusun warna gerakan itu dalam lirik lagu. Substansinya serius. Tapi pilihan kata khas mileneal yang agak ngepop dan gaul.

Ini lirik lengkapnya:

Satu Suara Membuat Beda

Ini pesta demokrasi
Kita pilih pemimpin negri
Boleh beda jangan benci
Berkompetisi, Jangan sensi

Jangan kita lupa memilih
Coblos itu atau ini
Lima menit di kotak suara
Lima tahun nasib bangsa

Reff:
Jangan sembarang memilih
Ingat saja pesan kakek
Pastikan yang kamu pilih
Merah putih harus berkibar

Jangan sembarang mencoblos
Ingat saja pesan nenek
Pastikan yang kamu coblos
Pancasila harus berkobar

Aku di sini kau di sana
Tak apa dong kita beda
Ayo adu program
Tapi kita tetap teman

Ayo jangan lupa memilih
Suara kamu menentukan
Bahkan satu suara
Nasib bangsa bisa berbeda

Bahkan satu suara
Nasib bangsa bisa berbeda
Bahkan satu suara
Nasib bangsa bisa berbeda.

Memang pemimpin nasional akan ikut menentukan bulat dan lonjong ruang publik kita. Ia Ikut memberi ruang kebebasan atau sebaliknya kontrol yang agak berlebih bagi gaya hidup kita. Ia cukup mempengaruhi membuat negara sejahtera, modern atau kembali ke zaman bahuela era kuda gigit besi.

Tapi kitalah yang menentukan, siapa pemimpin yang akan terpilih! Mengapa harus Golput? Bagaimana jika pemimpin yang harus dipilih, keduanya tidak ideal buat saya?

Justru itu intinya. Definisi demokrasi adalah kebebasan memilih pemimpin yang tidak idealnya lebih sedikit agar pemimpin yang tidak idealnya lebih banyak tidak berkuasa!*😁

Maret 2019

Ingin mengabarkan peristiwa atau menulis opini? Silahkan tulis di kanal WARGA SERUJI dengan klik link ini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama

ARTIKEL TERBARU

BERITA TERBARU

TERPOPULER

Asmat, Suku Terkaya Indonesia?

dr. Rosita, Sp OG