Di sektor perdagangan, memang Indonesia mengalami defisit dengan China. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI menyebutkan bahwa pada semester I/2017 defisit perdagangan Indonesia dengan China mencapai 6,62 miliar dolar AS.
Namun Atase Perdagan KBRI Beijing Dandy S Iswara mencatat bahwa pada periode Januari-Februari 2017 defisit neraca perdagangan tersebut mengalami penurunan 80 persen dibandingkan periode yang sama pada 2016 yang mencapai 2,271 miliar dolar AS. Penurunan itu salah satunya karena mulai ada peningkatan produk ekspor makanan dan minuman sehingga Indonesia tidak hanya mengandalkan ekpsor minyak dan gas ke China.
Indonesia masih sangat berpeluang menekan atau bahkan menghapus sama sekali selisih nilai perdagangan itu mengingat China masih membutuhkan banyak barang impor. Bahkan Wakil Perdana Menteri Zhang Gaoli mengatakan bahwa negaranya butuh barang impor senilai 8 triliun dolar AS dalam lima tahun mendatang.
Sayangnya, kalangan pengusaha nasional pesimistis melihat peluang yang ditawarkan China karena kegaduhan politik yang tak kunjung berkesudahan hingga tiga tahun masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
“Belum lagi sistem birokrasi kita,” kata Chairman of Indonesia Chamber of Commerce in China (Inacham), Liky Sutikno, di Shanghai, Sabtu (9/12).
Ketua perwakilan Kadin Indonesia di China itu lebih lanjut menggambarkan bahwa birokrasi di Indonesia masih bekerja pada abad ke-18, sedangkan China sudah abad ke-21.
“Maka jangan heran kalau Indonesia kalah jauh dari Malaysia dalam memanfaatkan peluang yang ditawarkan China,” ujar pengusaha Indonesia yang sudah malang-melintang di daratan Tiongkok itu.
Kerja sama u/ yg sederajat dan bermartabat tanpa menjual harga diri