Gawai di sekolah
Siswa menggunakan gawai/gadget di lingkungan sekolah. (foto:Istimewa)

Oleh:
Prof. Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya


SERUJI.CO.ID – Memperingati Hari Pendidikan Nasional di era disrupsi saat ini, kita perlu melakukan planned disruption atau creative destruction atas Sistem Pendidikan Nasional kita. Disrupsi ini saya sebut deschooling -sebuah istilah yang diajukan oleh Ivan Illich sekitar 50 tahun lalu saat internet belum ada.

Sebagai sebuah instrumen teknokratik, persekolahan massal adalah sebuah inovasi disruptif atas tatanan sosial masyarakat agraris Inggris sekitar 200 tahun silam yang membuka jalan bagi sebuah revolusi industri dan kelahiran masyarakat industri. Dalam perspektif ini, persekolahan di bekas negara jajahan menyiapkan infrastruktur budaya yang diperlukan bagi penjajahan baru.

Zaman berubah, bahkan secara cepat. Sebagai sebuah inovasi, persekolahan adalah konsep dan praktek yang sudah usang. Saat ini persekolahan adalah bagian dari masalah pendidikan. Penyelesaian secara piece meal dan incremental tidak mungkin berhasil. Untuk memanen bonus demografi di era industri 4.0, Sisdiknas harus dirombak besar-besaran untuk dibebaskan dari dominasi persekolahan.

Paradigma bersekolah harus kita ganti dengan paradigma belajar melalui jejaring belajar (learning webs). Ini akan memperluas kesempatan belajar yang sesuai dengan kebutuhan bagi lebih banyak warga berusia produktif dengan bakat dan minat yang beragam di manapun mereka berada di negeri kepulauan seluas Eropa ini. Pendidikan untuk semua hanya bisa dicapai secara efektif dan bermakna justru dengan belajar oleh semua, education for all can only be realized through learning by all, dimana saja dan kapan saja, terutama di rumah dan di masyarakat seperti wasiat Ki Hadjar Dewantara.

Persekolahan telah mempersempit kesempatan belajar dan telah mengerdilkan pendidikan menjadi sekedar penyedia buruh dan tukang di pabrik-pabrik. Persekolahan tidak pernah dirancang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai amanat konstitusi.

Hanya dengan mengurangi persekolahan, memperluas kesempatan belajar melalui keluarga dan masyarakat dalam mendidik warga muda, maka kita bisa memanen bonus demografi dan berharap menjadi tuan di negeri sendiri.

Sukolilo, 2 Mei 2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama