MENU

Menilai Sejarah Secara Utuh: Saatnya Bangsa Membaca Kembali Warisan Soeharto dengan Kedewasaan Kolektif

Oleh : Prof. Dr. Murpin Josua Sembiring.M.Si *)

Mengapa Wacana Ini Penting untuk Masa Depan Bangsa?

Karena bangsa yang kehilangan kemampuan menilai sejarah secara holistik  akan terus terjebak pada politik dendam dan nostalgia yang buntu/berkepanjangan kontraproduktip.

Generasi muda, para aktivis, akademisi, para pebisnis dan seluruh rakyat Indonesia berhak memperoleh sejarah yang jujur: Bahwa Soeharto pernah membangun negeri ini dengan capaian nyata yang mengubah hidup rakyat luas, sekaligus bahwa kekuasaan tanpa kontrol membawa risiko penyimpangan yang besar.

Keduanya benar. Keduanya perlu diajarkan. Keduanya yang menjadikan bangsa ini tumbuh dewasa.

Pada era Presiden Gus Dur, ia berupaya membuka lembar keputusan yang sulit saat itu yaitu rekonsiliasi nasional atas sejarah kelam masa lalu terkait konflik dan stigma seputar Soeharto, PKI, serta keluarga dan kelompok-kelompok yang terlibat, demi membangun persatuan bangsa. Rekonsiliasi adalah ikhtiar untuk memahami secara utuh, mengakui kebenaran dari dua sisi sejarah, dan membiarkan bangsa ini melangkah maju tanpa membawa beban dendam yang diwariskan lintas generasi.

Saatnya Kita Menjadi Bangsa yang Dewasa dalam Mengingat

Meskipun Gus Dur tokoh nasional yang paling keras mengkritik pemerintahan Soeharto dan menilai sarat korupsi, kekerasan politik, serta pembungkaman demokrasi, Orde yang menciptakan budaya ketakutan era tahun 1999–2001, Gusdur justru mengambil langkah moral rekonsiliasi yang tersulit untuk mengajak bangsa ini berani keluar dari budaya kebencian.

Salah satu bentuk paling spektakuler adalah pencabutan larangan dan pembatasan politik terhadap keluarga Soeharto, termasuk tidak menjadikan mereka “musuh negara” setelah jatuhnya Orde Baru. Gus Dur menolak melakukan “politik balas dendam terhadap keluarga Soeharto.

Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto jika suatu saat diputuskan harus dipahami bukan sebagai penilaian bahwa beliau sempurna, melainkan sebagai pengakuan bahwa:
Ada peran penting dalam menyelamatkan dan membangun republik ini pada masa paling genting dalam sejarahnya. Dan pada saat yang sama: ada pelajaran penting tentang bahaya kekuasaan yang tak terkendali, yang harus dijaga kita kontrol bersama agar tak terulang kembali.

Bangsa besar bukan bangsa yang melupakan, bukan pula bangsa yang menolak berdamai dengan sejarah tokoh-tokoh besar bangsanya sendiri. Bangsa besar adalah bangsa yang mampu berkata: “Kami menghormati jasa. Kami mengakui luka. Dan kami memilih untuk belajar dari keduanya.” Itulah langkah menuju Indonesia yang matang, adil, dan berdaulat atas ingatannya sendiri.

“Bangsa ini tidak akan pernah benar-benar maju sebelum berani berdamai dengan masa lalunya sendiri.” Mari bangsa ini menatap betapa indah sejahteranya Indonesia Emas nanti di 2045 mendatang.

 


*) Mantan Aktivis LSM di Jawa Timur, Putera Pejuang Kemerdekaan TNI AD, Mantan Ketua DPD Mapancas (Mahasiswa Pancasila) Jatim, aktivis kelompok Cipayung, Ketua Persatuan Gurubesar/Profesor Indonesia Jatim, Gurubesar Universitas Ciputra Surabaya.

Ingin mengabarkan peristiwa atau menulis opini? Silahkan tulis di kanal WARGA SERUJI dengan klik link ini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama

ARTIKEL TERBARU

BERITA TERBARU

TERPOPULER